TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah anak buah Presiden Joko Widodo merespon secara berbeda-beda keinginan untuk merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menduga anak buah Jokowi menerjemahkan maksud Presiden secara berbeda. "Ada dua kemungkinan. Jajaran di bawah Presiden tidak menangkap pesan Presiden dengan baik, atau memang sengaja didesain seperti ini," kata Rivanlee ketika dihubungi, Kamis, 18 Februari 2021.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan akan mengajak DPR bersama-sama merevisi Undang-undang ITE, jika aturan itu dirasa tak dapat memberikan rasa keadilan. "Karena di sini hulunya, hulunya di sini. Revisi," kata Jokowi pada Senin, 15 Februari 2021.
Berikut beberapa pernyataan anak buah Jokowi yang berbeda-beda.
1. Menkopolhukam
Berselang beberapa jam setelah pernyataan Presiden, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengatakan pemerintah akan mendiskusikan insiatif merevisi undang-undang itu.
Mahfud mengatakan Undang-undang ITE awalnya dibuat karena banyak yang mengusulkan dengan semangat agar ada regulasi tersebut.
"Jika sekarang UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut. Bagaimana baiknya lah, ini kan demokrasi," kata Mahfud lewat akun Twitternya pada Senin, 15 Februari 2021.
2. Menkominfo
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan pemerintah mendukung lembaga penegak hukum untuk membuat pedoman interpretasi resmi terhadap Undang-undang ITE.
Ia berujar, pembuatan pedoman interpretasi ini akan dilakukan oleh Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, dan kementerian/lembaga lainnya.
"Pemerintah akan secara lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran ITE dan pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir diterjemahkan secara hati-hati," kata Johnny.
Ia mengatakan pedoman ini akan membuat penafsiran pasal-pasal dalam Undang-undang ITE lebih jelas. Ia menyatakan Pasal 27 ayat (3) Undang-undang ITE tentang pencemaran nama dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian, yang dianggap pasal karet, telah beberapa kali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Hasilnya, MK menyatakan pasal itu konstitusional. "Undang-undang ITE merupakan hasil kajian dari norma-norma peraturan perundang-undangan lain yang berlaku saat ini," kata dia.
3. Deputi KSP
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Bidang Informasi dan Komunikasi Politik, Juri Ardiantoro mengatakan pemerintah mempersilakan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengajukan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dia beralasan undang-undang adalah produk bersama pemerintah dan DPR.
"Sehingga, jika ada usaha revisi, silakan DPR bisa berinisiatif," kata Juri dikutip dari Koran Tempo edisi Kamis, 18 Februari 2021.
Karena bola revisi Undang-undang dilemparkan ke DPR, pemerintah kini menggodok interpretasi atas ketentuan-ketentuan dalam undang-undang itu. Juri mengatakan Presiden Jokowi sudah memerintahkan Kepolisian untuk lebih selektif menerima pelaporan terkait dengan tuduhan pelanggaran Undang-undang ITE.
Menurut Juri, Kepolisian merespons arahan Presiden Jokowi dengan berbagai kebijakan agar penerapan UU ITE mengarah pada keadilan. Kapolri misalnya, kata dia, telah membuat semacam petunjuk pelaksanaan dalam menerima aduan, pelaporan, atau penyelidikan kasus-kasus soal ITE.
Baca juga: Kapolri Sebut Penggunaan UU ITE Sudah Tidak Sehat