TEMPO.CO, Jakarta - Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte menuding bahwa seluruh masalah terkait red notice Djoko Tjandra muncul ketika NCB Interpol Indonesia berkirim surat kepada Kejaksaan Agung pada 14 April 2020.
Menurut Napoleon, tanpa surat itu, maka tidak akan ada yang tahu status red notice Djoko Tjandra. Hal itu ia utarakan di dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap kepengurusan red notice Djoko Tjandra yang digelar Senin, 8 Februari 2021.
Awalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mempertanyakan mengapa Napoleon tidak berkomunikasi intens dengan Kejaksaan Agung. Terlebih ketika adanya 'pergerakan' dari istri Djoko Tjandra, Anna Boentaran.
"Begini, masalah ini bermula inisiasi NCB Interpol bersurat kepada Kejaksaan, apakah masih butuh status Djoktjan. Tanpa surat 14 April, semua enggak ada yang tahu status Djokojan ke mana-mana, semua hening, yang kemudian bergulir ke sana-sini," kata Napoleon di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Baca: Napoleon Ngaku Sempat Tolak Permintaan untuk Cek Status Red Notice Djoko Tjandra
Napoleon menegaskan Kepala Divisi Hubungan Internasional bukan lah pemain utama dalam hal ini. "Pemain utama adalah NCB Interpol," ucap dia melanjutkan.
"Terkait informasi adanya buronan, apa yang memotivasi atau mendasari bapak tidak memberikan info sepenting ini bahwa ada pergerakan dari keluarga yang meminta menghapus status red notice kepada Kejaksaan Agung?" tanya jaksa.
"Ya, memang begitu lah yang tadi kami akui, staf kami tuh mereka belum sempurna, proses. Makanya saya sebagai komandan dihukum karena gagal mengawasi," jawab Napoleon.
"Tidak ada niat kesengajaan menutupi?" tanya jaksa.
"Tidak ada. Kalau saya tahu dia datang, saya tangkap. Naik karir saya, mungkin sekarang jadi bintang tiga," ucap Napoleon.
Dalam perkara ini, JPU mendakwa Napoleon telah menerima uang sebesar SGD$ 200 ribu dan US$ 270 ribu dari Djoko Tjandra. Uang tersebut sebagai imbalan lantaran Napoleon berhasil membuat nama Djoko Tjandra terhapus dari sistem ECS pada Sistem Informasi Keimigrasian.