TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md menyebut sengketa antara PT Perkebunan Nusantara VII atau PTPN dengan Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah FPI di Megamendung harus segera diselesaikan.
Jika status hukumnya sudah jelas dan terbukti merupakan lahan milik negara, kata Mahfud, maka bisa diusulkan menjadi pondok pesantren bersama.
"Masalah hukumnya harus diselesaikan dulu, apakah tanah milik negara atau bukan. Selesaikan dulu hukum kepemilikannya dengan Kementerian ATR dan BUMN. Jika sudah jelas negara sebagai pemilik maka kita bisa usul untuk dijadikan ponpes bersama," cuit Mahfud lewat akun twitter-nya @mohmahfudmd, Selasa, 29 Desember 2020.
Polemik lahan Ponpes Markaz Syariah FPI saat ini masih bergulir. PT PTPN VIII mengklaim Markaz Syariah berdiri di atas lahan mereka. Sementara pihak Markaz Syariah mengklaim telah membeli tanah itu dari petani.
Konflik antara PTPN dengan FPI ini bukan pertama kali terjadi. Melansir Majalah Tempo edisi Februari 2017, sejak awal berdirinya Markaz Syariah FPI pada 2015, pembangunannya telah diwarnai sejumlah masalah.
Lahan yang kini dikuasai Markaz Syariah sebelumnya merupakan lahan PTPN yang digunakan penduduk sekitar. Hingga 1998, seluruh area Gunung Mas masih dikuasai PTPN. Setelah reformasi, sejumlah area ditempati masyarakat secara ilegal. Dari 1.623 hektare lahan milik PTPN di sana, yang diserobot mencapai 352 hektare. "Tapi di BPN sertifikatnya masih atas nama PTPN," kata Gunara, Direktur Manajemen Aset PTPN VIII saat itu.
Para penggarap ilegal itu kemudian menjual lagi lahan melalui calo tanah kepada orang Bogor dan Jakarta yang ingin bangun vila di sana. Markaz Syariah pernah mengurus sertifikat lahan di Megamendung ke Badan Pertanahan Nasional. Namun upaya itu gagal karena lahan masih tercatat atas nama PTPN.
Pada 21 Mei 2013, Markaz Syariah FPI menyurati PTPN untuk meminta hak guna lahan seluas 33 hektar dengan dalih corporate social responsibility (CSR). Namun permohonan atas nama CSR itu tak digubris PTPN.
Markaz Syariah kembali menyurati PTPN pada April 2014. Kali ini mereka mengajukan proposal baru. Persil yang diminta kali ini bukan lagi 33 hektar melainkan 40 hektare. Namun PTPN tetap tak merespons permintaan itu.
Pada 1 April 2016, Markaz Syariah FPI kembali mencoba usahanya. Kali ini mereka memberi tahu PTPN bahwa mereka telah mengambil alih lahan garapan masyarakat seluas 50 hektar di Afdeling Cikopo Selatan. Dalam suratnya, Markaz Syariah FPI mengabari bahwa mereka telah membangun pembangkit listrik 157 ribu watt untuk menerangi pesantren, mendirikan sejumlah bangunan di kompleks pesantren, dan mengaspal jalan sepanjang 7 kilometer dengan lebar 6 meter. Semua surat diteken oleh Rizieq Shihab selaku pengasuh pesantren.
Empat tahun lebih berselang, PTPN akhirnya memilih menyomasi FPI atas keberadaan Markaz Syariah. Dalam surat somasi bernomor SB/I.1/6131/XII/2020 tanggal 18 Desember 2020 itu, PTPN VIII menyebut lahan Ponpes FPI adalah aset mereka berdasarkan sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008.
Direktur PTPN VII I Mohammad Yudayat yang menandatangani surat itu meminta pimpinan ponpes menyerahkan kembali lahan tempat berdirinya pesantren.
Kuasa Hukum FPI Aziz Yanuar membantah ponpes milik Rizieq Shihab itu telah menyerobot lahan milik PTPN VIII. Menurut Aziz, perihal status sertifikat lahan berdirinya Ponpes Agrokultural itu sudah dijelaskan oleh Rizieq Shihab saat peletakan batu pertama pembangunan masjid di kompleks ponpes itu pada 13 November lalu. Aziz menyebut HGU lahan tersebut memang milik PTPN VIII, namun PTPN menelantarkan lahan tersebut dan tidak pernah menguasai fisik selama 30 tahun.
Berdasarkan UU Agraria, menyebutkan jika lahan kosong tidak ada kepemilikan dan digarap dan dimanfaatkan oleh masyarakat selama 20 tahun maka masyarakat berhak untuk mengajukan sertifikat kepemilikan lahan tersebut. Pada saat tanah itu dijual kepada Rizieq Shihab, Aziz mengklaim, masyarakat sudah menggarap lahan yang ditelantarkan PTPN VIII selama lebih dari 30 tahun.
"Kami bangun Ponpes di lahan itu bukan merampas, tapi membayar kepada petani yang datang dengan membawa surat yang ditandatangani oleh Pejabat setempat dan dokumennya lengkap, sudah ditembuskan ke Bupati dan Gubernur sebagai perwakilan institusi Negara," kata Aziz ketika dihubungi Tempo, Rabu, 23 Desember 2020.