TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti menilai secara tekstual tak ada yang salah dari peringatan ihwal sanksi pemberhentian kepala daerah dalam Instruksi Mendagri Tito Karnavian Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Instruksi ini keluar setelah sejumlah kerumunan terjadi di Jakarta dan Bogor imbas kegiatan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.
"Surat instruksi Mendagri kalau dibaca teks tidak masalah, poinnya mengingatkan kepala daerah bisa dicopot tentu melalui mekanisme undang-undang yang ada," kata Ray dalam diskusi daring, Sabtu, 21 November 2020.
Namun Ray berpendapat surat itu tak bisa dimaknai secara tekstual saja, tetapi juga kontekstual. Salah satunya, Ray mengatakan surat instruksi itu bisa memicu gerakan politik lokal untuk memberhentikan kepala daerah.
Ia mencontohkan sikap politikus-politikus di tingkat lokal yang menggunakan surat instruksi Mendagri itu untuk mempertanyakan kinerja kepala daerah dalam penanganan Covid-19. "Sekali pun surat ini bernada mengingatkan, tapi bisa berimplikasi jadi motivasi politisi daerah untuk melakukan gerakan politik dalam rangka memakzulkan kepala daerah," kata Ray.
Di Provinsi DKI Jakarta, Fraksi Partai Solidaritas Indonesia mengusulkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menggunakan hak interpelasi terhadap Gubernur Anies Baswedan. PSI menilai Anies melakukan pembiaran terhadap acara keramaian FPI di tengah pandemi Covid-19.
Ray juga menilai ada intensi keinginan pemerintah pusat untuk mengembalikan lagi berbagai kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah. Ia mengatakan intensi itu pun sudah terlihat dari pemangkasan kewenangan pemerintah daerah dalam Undang-undang Cipta Kerja.
Maka dari itu, Ray menganggap publik perlu mengkritik instruksi Mendagri tersebut. "Kalau tidak kita kritik sejak awal, ada tensi, bisa jadi ini desain untuk kembalikan kewenangan pusat yang terlalu besar (untuk mengatur) daerah," kata dia.