TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Airlangga, Herlambang P. Wiratraman, menyatakan polemik salah ketik semakin menunjukkan proses pembentukan UU Cipta Kerja jauh dari standar pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Herlambang terutama menyoroti asas kepastian hukum, baik secara formal maupun substantif.
Secara formal, kata dia, proses pembentukan omnibus law UU Cipta Kerja diwarnai banyak masalah. Mulai dari pembahasan yang dilakukan di masa pandemi Covid-19, keterlibatan publik yang tak signifikan, hingga misteri dokumen yang tak diungkap serta terus berubah bahkan setelah pengesahan.
"Menurut saya ini adalah praktik terburuk dalam sejarah pembentukan hukum di negeri ini pasca-Soeharto. Belum pernah terjadi seperti ini," kata Herlambang kepada Tempo, Kamis, 5 November 2020.
Herlambang mengatakan persoalan UU Cipta Kerja saat ini tak bisa dipandang sekadar salah ketik. Ia menilai kekeliruan pengetikan ini seakan-akan sedang dirasionalisasi oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang juga berencana melakukan koreksi secara langsung.
Menurut Herlambang, koreksi secara langsung itu tak bisa dilakukan. Ia mengatakan tak ada aturan hukum yang membolehkan hal tersebut. Selain itu, kata dia, tindakan tersebut juga melanggar asas kepastian hukum atau lex certa. "Itu skandal yang sangat memalukan di pemerintahan hari ini," ujar Ketua Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia ini.
Secara substansi, Herlambang mengatakan UU Cipta Kerja juga bermasalah lantaran mewakili kepentingan oligarki. Menurut dia, dominasi kepentingan oligarki inilah yang kemudian mengarah pada tindakan menggampangkan dan proses ugal-ugalan.
Herlambang menyebut sikap pemerintah yang hendak langsung merevisi UU Cipta Kerja itu merupakan cara ilegal atau forgery content. Ia berujar, forgery content adalah salah satu penanda kejahatan legislasi.