TEMPO.CO, Jakarta - Ratusan akademisi yang tergabung dalam Aliansi Akademisi meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi membatalkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja yang baru saja resmi diteken. Mereka menilai terlalu banyak masalah dalam isi dan proses pembuatan omnibus law tersebut, yang menguatkan kesan bahwa UU itu tak berpihak pada rakyat.
Haris Retno, salah satu yang tergabung dalam Aliansi Akademisi mengatakan bahwa penyusunan dan pengesahan UU ini melanggar nilai kehidupan berbangsa dan bernegara. Seharusnya nilai itu bertujuan untuk proses mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, membangun pondasi demokrasi yang konstitusional dan sesuai dengan prinsip negara hukum Indonesia.
"Namun prinsip ini sedang mengarah kepada kuasa kapitalisme maupun oligarki, yang justru semakin berpikir meninggalkan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Dan sudah seharusnya presiden mengambil sikap yang bijak, bukan malah mengesahkan UU yang banyak ditolak rakyatnya sendiri," kata Retno dalam konferensi pers, Selasa, 3 November 2020.
Retno mengatakan pernyataan ini dilakukan oleh 322 akademisi yang meliputi 119 universitas yang ada di dalamnya.
Ia mengatakan pengesahan dilakukan di tengah gelombang penolakan terhadap UU tersebut. Apalagi juga dilakukan di tengah pandemi yang banyak membatasi pergerakan masyarakat. Hal ini juga kemudian diiringi dengan sejumlah aksi represif negara terhadap rakyat yang menyatakan penolakan.
Secara teknik penulisan, Retno juga mengatakan banyak masalah yang ditemukan akademisi, dalam UU nomor 11 tahun 2020. Di awal UU saja, terdapat ketidakjelasan pembahasan. Dalam Pasal 7, disebutkan merujuk pada Pasal 6, yang kemudian merujuk pada Pasal 5 huruf a. Namun masalahnya, tak ada Pasal 5 huruf a di UU tersebut.
"Menurut kami pasal yang terlihat sangat gegabah cenderung amburadul, ngawur dan tak sesuai dengan ketentuan hukum," kata Retno.
Secara substansi, Retno mengatakan para akademisi yang tergabung sepakat bahwa UU ini tak berpihak pada rakyat. Di sektor Sumber Daya Alam misalnya. Di Pasal 128, disebutkan bahwa usaha batubara yang melakukan peningkatan nilai tambah, maka royaltinya adalah 0 persen.
"Ini kabar buruk bagi daerah-daerah penghasil SDA, karena kalau ini diberlakukan tak ada lagi bagian royalti yg bisa dibagi ke daerah," kata Retno.
Aturan ini kemudian dibarengi dengan pasal 162, yang menyebutkan setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan pertambangan pemegang izin, maka akan dikenai hukuman pidana kurungan atau denda.
"Ini semakin menguatkan bahwa motivasi pengesahan ini bukan semata-mata untuk mendengarkan kepentingan masyarakat, tapi menguatkan kuasa kapitalisme," kata dia.