6. Lily Dorianty Purba
Lily Purba pernah menjabat sebagai Perwakilan Indonesia di ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) pada tahun 2016 Lily merupakan konsultan gender yang saat itu bekerja sebagai ahli/penasihat di bidang gender bagi LSM Nasional dan Badan Pembangunan Internasional di Indonesia dengan memberikan masukan terkait kesetaraan gender untuk Program dan Proyek Pembangunan.
Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 1985 dan Master dalam Pembangunan dan Gender di University of East Anglia, Inggris tahun 1999 itu wafat pada 9 Februari 2019.
7. Yusan Yeblo
Mama Yusan Yeblo, tokoh perempuan Papua yang aktif di berbagai organisasi perempuan, 3 tahun berjuang dengan stroke yang menyebabkannya tidak bisa bergerak bebas dan beraktivitas seperti biasa. Dia merupakan komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 1998 hingga 2004, anggota Forum Kerjasama (Foker) Papua, Pendiri Forum Kerja Sama masyarakat Irian Jaya (Foreri) dan Wakil Ketua Solidaritas Perempuan Papua tahun 2007.
Mama Yusan juga pernah menjabat sebagai Direktur Yayasan Pokja Wanita Irian Jaya dan sebagai koordinator Jaringan Kerjasama Kesehatan Perempuan dan Anak kawasan Indonesia Timur (JKPIT). Mama yusan, wafat pada Maret 2019.
8. Tapi Imas Ihromi Simatupang
Beliau seorang intelektual dan aktivis perempuan, yang aktif membela kepelbagaian adat-istiadat di Indonesia. Ia berpendapat, penyeragaman hukum di Indonesia seperti yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru hanya akan menimbulkan masalah di masyarakat.
Jenjang pendidikan ibu Tapi Omas S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan selesai pada 1958, S2 di Universitas Cornell dan lulus dengan gelar M.A. dan di Universitas Harvard dalam bidang studi bahasa-bahasa Semit dan S3 di Universitas Indonesia. Tapi Omas ikut mendirikan jurusan Kajian Perempuan Pasca Sarjana Universitas Indonesia pada 1979 bersama dosen UI perempuan lainnya. Ia wafat 5 Agustus 2018 dalam usia 88 tahun.
9. Eyang Sri Sulistyawati
Sri Sulistyawati atau kerap dipanggil dengan sebutan Eyang Sri, lahir di Cirebon. Ia merupakan seorang jurnalis di tahun 1950an dan bekerja di Koran Ekonomi Nasional. Pada masa itu, Eyang banyak menulis tentang kondisi ekonomi dan sosial politik di Indonesia.
Eyang dipenjara di Bukit Duri selama 11,5 tahun hingga 25 April 1979 baru dilepaskan. Hari-hari setelah dalam penjara itulah hari-hari penuh dengan kekerasan, intimidasi dan diskriminasi yang tak pernah lepas dari hidupnya. Ia pernah mengalami pendarahan hebat karena disiksa. Sejak keluar dari penjara, sesekali ia masih sering menulis, melanjutkan sisa-sisa kisah kepedihan di dalam penjara.
Sakit radang usus telah menggerogoti Eyang Sri hingga akhir hidupnya. Eyang menghembuskan nafas terakhir tanggal 26 April 2018 di RS Carolus pada usia 78 tahun.
10. Cut Risma Aini
Selama hidupnya, Cut Risma aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berbagai konteks. Bersama Solidaritas Perempuan Bungong Jeumpa Aceh, dia aktif mengadvokasi hak perempuan dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, hingga memperjuangkan hak perempuan dalam ruang publik dan demokrasi.
Cut Risma pernah menjadi Kepala Divisi Penguatan Organisasi Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan sejak 2004 - 2006 dan kembali ke Aceh untuk memperkuat perempuan korban gempa dan tsunami.
Cut Risma Aini terakhir menjadi anggota Dewan Pengawas Komunitas SP Aceh sejak Desember 2017 hingga akhir hidupnya. Ia wafat pada 2018 silam.
11. Christina Sumarmiaty
Christina alias Mbah Mamik merupakan perempuan pembela HAM yang menjadi salah satu korban kekerasan seksual dan penganiayaan oleh Polisi Militer tahun 1967. Mbah Mamik ditangkap dan disiksa dalam tahanan agar mengakui diri sebagai anggota Partai Komunis.
Dia aktif di berbagai kegiatan setelah runtuhnya rezim orde baru, dan tahun 2015 beliau menghadiri International People’s Tribunal 65 di Belanda dan memberi kesaksian di sana. Ia wafat pada 2019 dalam usia 73 tahun.