TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Agil Oktrayal mengungkapkan kekhawatirannya terkait revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi atau revisi UU MK yang kini bergulir di DPR. Ia khawatir revisi UU ini akan digunakan sebagai media barter, karena menguntungkan hakim konstitusi yang saat ini menjabat dengan memperpanjang masa jabatannya.
"Penambahan usia hakim Mahkamah Konstitusi ini diberlakukan secara retroaktif, yang berarti diberlakukan terhadap hakim yang menjabat sekarang. Akan ada konflik kepentingan yang coba dimainkan revisi UU Mahkamah Konstitusi. Karena legislasi ini menguntungkan hakim MK yang sedang menjabat," kata Agil dalam konferensi pers Tolak RUU MK oleh Koalisi Save Mahkamah Konstitusi yang diadakan secara daring, Jumat 28 Agustus 2020.
Agil khawatir revisi ini akan menjadi barter di kemudian hari. Ia melihat ada beberapa kepentingan legislasi di MK, baik perkara yang tengah berjalan, atau yang akan datang. Undang-Undang yang saat ini tengah berperkara di MK ada UU KPK, UU penanganan Covid-19, UU Minerba. Adapun Undang-Undang yang berpotensi berperka di MK adalah UU Cipta Kerja.
"Nah pada akhirnya kami lihat bahwa ini akan jadi barter. Jadi sekarang sangat banyak UU kontroversial dan diuji di MK. Ini yang menjadi kehawatiran akan terjadi barter dari UU MK dan perkara yang sedang berjalan di MK," ujarnya.
Alasan lain yang membuatnya khawatir dengan hakim periode ini adalah Arief Hidayat, hakim MK yang pernah dijatuhi hukuman etik pada 2017 lalu. "Mana mungkin memperpanjang usia jabatan hakim sekarang sedangkan ada hakim yang pernah dijatuhi hukuman etik saat itu," tuturnya.
Merujuk Undang-undang MK Nomor 24 Tahun 2003 yang berlaku saat ini, usia minimal hakim ialah 40 tahun dan pensiun di usia 65. Bila revisi ini diberlakukan maka aturan minimal usia hakim menjadi 60 tahun dan bisa menjabat tanpa seleksi hingga usia 70 tahun.
FIKRI ARIGI