TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengatakan permohonan peninjauan kembali (PK) terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra (nama diganti menjadi Joko Tjandra) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harusnya ditolak. Alasannya Djoko telah mengganti namanya saat melakukan pendaftaran.
"Jika mengacu nama barunya, maka upaya hukum PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan semestinya tidak diterima Mahkamah Agung karena identitasnya berbeda dengan putusan persidangan dalam perkara Cesie Bank Bali," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis, 2 Juli 2020.
Boyamin menuturkan Djoko Tjandra sebelumnya kabur pada 2009 dan berpindah kewarganegaraan menjadi warga Papua Nugini. Namun, kata dia, Djoko saat ini telah memiliki kewarganegaraan Indonesia dan mengubah namanya lagi menjadi Joko Soegiarto Tjandra melalu proses Pengadilan Negeri di Papua.
Ia berujar perubahan nama awal dari Djoko menjadi Joko menjadikan data dalam paspor berbeda, sehingga tidak terdeteksi Imigrasi. Hal ini pernah dibenarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly bahwa tidak ada data pada imigrasi atas masuknya Djoko S Tjandra.
Jika mengacu kabur dan buronnya Djoko Tjandra sejak 2009 dan pasport hanya berlaku 5 tahun maka semestinya sejak 2015 Djoko S Tjandra tidak bisa masuk Indonesia. "Atau jika masuk Indonesia mestinya langsung ditangkap petugas Imigrasi karena pasportnya telah kadaluarsa," tuturnya.
Namun, Djoko S Tjandra pada 8 Juni 2020 telah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali di Pengadilan Jakarta Selatan. Ia mengajukan PK atas putusan Mahkamah Agung yang menghukumnya 2 tahun penjara. Mahkamah juga menjatuhkan denda Rp 15 juta serta meminta jaksa merampas barang bukti sebesar Rp 546 miliar.
Sebelum vonis Mahkamah Agung diketuk pada 12 Juni 2009, Djoko lebih dulu kabur ke luar negeri. Ia diduga tinggal di Papua Nugini. Di sana ia lantas berganti nama menjadi Joe Chan. Nama itu tercatat sebagai warga Papua Nugini.