TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Gusdurian menyesalkan pemanggilan Ismail Ahmad, warga Kepulauan Sula, Maluku Utara, oleh Kepolisian Resor Kepulauan Sula. Polisi diduga memaksa Ismail meminta maaf karena dia mengunggah salah satu humor Presiden keempat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, mengatakan pemanggilan Ismail itu merupakan bentuk intimidasi institusi negara terhadap warganya.
Apalagi, kata Alisa, dalam Sejumlah pemberitaan Polres Kepulauan Sula disebut mengancam akan memidanakan Ismail dengan Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Hal ini menambah catatan upaya menggunakan UU ITE sebagai instrumen untuk membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat di Indonesia," kata Alissa dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 18 Juni 2020.
Atas dasar itu, Jaringan Gusdurian meminta aparat hukum untuk tidak mengintimidasi warga negara yang mengekspresikan dan menyatakan pendapat melalui media apapun.
"Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat adalah hak konstitusional yang wajib dilindungi oleh aparat hukum," ucap Alissa
Alissa menuturkan penggunaan Pasal 45 ayat (3) UU ITE tidak tepat karena pasal pencemaran baik hanya berlaku untuk subjek perseorangan, bukan untuk lembaga apalagi pemerintah.
Sehingga Jaringan Gusdurian meminta lembaga legislatif untuk mengevaluasi, merevisi, dan/atau bahkan menghapus UU ITE yang sering disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia.
Jaringan Gusdurian mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk terus mendukung iklim demokrasi yang sehat, salah satunya dengan terus membuka ruang kritik yang membangun tanpa merasa terancam.
Ismail mengunggah salah satu humor soal polisi yang isinya kurang lebih berbunyi, hanya ada tiga polisi jujur. Yaitu Polisi tidur, patung polisi, dan mantan Kapolri Jenderal Hoegeng.