TEMPO.CO, Jakarta- Dosen Universitas Indonesia Ade Armando menjelaskan maksud postingannya yang menyebut Muhammadiyah menggulirkan isu pemakzulan presiden. Postingan yang dimuat untuk menanggapi agenda diskusi daring yang digagas Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute (KJI) dengan judul 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Masa Pandemi Covid-19' itu mendapat somasi dari Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah.
Dalam akun media sosialnya, Ade menulis, Isu pemakzulan Presiden digulirkan Muhammadiyah. Keynote Speakernya Din Syamsudin, si dungu yang bilang konser virtual Corona menunjukkan pemerintah bergembira di atas penderitaan rakyat. Ade menjelaskan tidak menuduh Mahutama dan KJI berinisiatif untuk menggulingkan Presiden.
Ia berdalih hanya menyatakan bahwa isu pemakzulan presiden digulirkan Muhammadiyah, mengingat Mahutama menggunakan kata Muhammadiyah dalam nama resminya. "Tapi kembali saya tekankan, saya tidak menuduh Mahutama berinisiatif menggulingkan Presiden, yang dilakukan Mahutama adalah menggulirkan isu pemakzulan Presiden. Dua hal tersebut jelas berbeda," kata Ade lewat pesan singkat, Senin, 1 Juni 2020.
Ade mengatakan ia baru mendapat informasi jika acara itu sendiri sebenarnya tidak disetujui pimpinan Muhammadiyah. Mengutip pemberitaan dari situs CNNIndonesia, Ade menyampaikan jika Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, menyesalkan pengunaan nama Muhammadiyah dalam penyelenggaran webinar tersebut.
Menurut Anwar, dalam artikel itu, penggunaan nama Muhammadiyah untuk acara tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan PP Muhammadiyah. Hal itu dinilai bisa merusak nama baik dan mempersulit posisi Muhammadiyah. "Dia mengingatkan penyematan nama Muhammadiyah dalam diskusi itu harus melalui izin dari organisasi, karena topik diskusinya menyangkut hal yang sangat sensitif," tutur Ade.
Berdasarkan klarifikasi Anwar itu, ucap Ade, ia meminta maaf kepada PP Muhammadiyah lantaran tidak memperoleh informasi bahwa sebenarnya kegiatan Mahutama tersebut dilakukan tanpa seizin PP Muhammadiyah. "Saya sendiri heran mengapa Mahutama secara gegabah melakukan acara yang bisa merusak nama baik Muhammadiyah. Tapi saya lega bahwa PP Muhammadiyah menolak acara tersebut," kata dia.
Terkait nama Din Syamsudin, Ade menyatakan bersedia mencabut pernyataannya dan meminta maaf asalkan Din mau menjelaskan kepada publik melalui media massa alasannya menuduh pemerintah bergembira di atas rakyat yang menderita di tengah pandemik corona. Ucapan itu sempat dilontarkan Din saat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyelenggarakan konser virtual penggalangan dana untuk membantu korban terdampak Covid-19 pada 17 Mei lalu.
"Tuduhan semacam itulah yang saya anggap ‘dungu’. Bagaimana mungkin langkah pemerintah berusaha menggalang dana untuk membantu mereka yang menderita dianggap sebagai bukti bahwa pemerintah bergembira," kata Ade.
Ade menyarankan PW Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah mengomentari pernyataan Din Syamsudin sebagai keynote speaker di webinar itu. Dalam sambutannya, Din menjelaskan syarat-syarat pemakzulan presiden berdasarkan pendapat teoritikus Islam, Al Mawardi. Din juga menyatakan jika pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan apabila terjadi kepemimpinan represif hingga cenderung diktator.
"Din menyebut pemerintah Indonesia belakangan ini tak berbeda jauh dengan kondisi tersebut. Menurutnya, pemerintah saat ini tengah membangun kediktatoran konstitusional," kata Ade menirukan pendapat Din.
AHMAD FAIZ