TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok masyarakat sipil Gerak Perempuan meminta pemerintah menuntaskan kasus pembunuhan terhadap aktivis buruh Marsinah. "Mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komnas Perempuan untuk menindaklanjuti kasus pelanggaran HAM berat terhadap Marsinah serta segera mewujudkan pengadilan HAM," kata perwakilan Gerak Perempuan, Lini Zurlia, dalam keterangan tertulis, Sabtu, 9 Mei 2020.
Tuntutan ini mereka sampaikan dalam peringatan 27 tahun kematian Marsinah pada 8 Mei 2020. Marsinah adalah aktivis dan buruh yang menuntut kenaikan upah, cuti haid, dan kebebasan berserikat. Marsinah meregang nyawa setelah diperkosa dan dianiaya dengan keji. Hingga kini kasus ini belum ditangani tuntas.
Gerak Perempuan mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat agar memprioritaskan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. "Sebagai salah satu bentuk pemastian peristiwa yang dialami Marsinah tidak terulang lagi," kata Lini.
Meski kematian Marsinah sudah lama berlalu, menurut Lini, selama itu pula kondisi buruh dan perempuan tidak kunjung membaik. Persoalan yang disuarakan dan dialami Marsinah justru semakin relevan hingga saat ini dengan kehadiran Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Kondisi pandemi Covid-19 pun memperparah persoalan perempuan itu. Oleh karena itu, Gerak Perempuan menuntut agar DPR dan pemerintah menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja.
Lini menuturkan Marsinah merupakan korban politik investasi Orde Baru yang saat itu ditopang kekuatan militer. Ia menilai, karakter politik itu masih dipertahankan hingga di pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui kebijakan pro-investasi yaitu RUU Cipta Kerja.
"Bahkan dalam kondisi pandemi, pemerintah dan DPR memilih melanjutkan pembahasan Omnibus Law RUU Cilaka ketimbang melindungi hak rakyat seperti akses kesehatan dan memperbesar subsidi."
Lini mengatakan RUU Cipta Kerja merupakan bagian dari kekerasan sistematis yang dilakukan oleh negara. Kekerasan dilakukan melalui kemudahan investor mengeksploitasi alam dan lingkungan yang lekat dengan perempuan.
Masalah ketenagakerjaan yang disuarakan Marsinah pun, kata dia, terancam semakin parah dengan perbudakan modern melalui sistem kontrak dan outsourcing tanpa batas, upah rendah lewat sistem upah khusus padat karya dan satuan waktu serta penghilangan Upah Minimum Kota (UMK), dan potensi hilangnya semua hak cuti perempuan seperti cuti hamil melahirkan, cuti haid, cuti tahunan, cuti keguguran, dan lainnya.