TEMPO.CO, Yogyakarta - Dua tahun menghuni relokasi perumahan setelah tergusur proyek Bandar Udara Internasional Yogyakarta atau dikenal sebagai Bandara Kulon Progo, Ani Suparsih bertahan hidup tanpa penghasilan yang pasti.
Untuk menyambung hidup di tempat baru, Ani membuka usaha salon di lapak berukuran 4x5 meter persegi di Dusun Kragon, Desa Palihan, Temon, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Tapi, pandemi Covid-19 membuat usahanya kocar-kacir.
Salon Ani sepi dari pengunjung. Sehari hanya ada tiga orang pelanggan. Penghasilannya turun drastis. Dalam kondisi normal, Ani per hari memperoleh penghasilan 200 ribu hingga 250 ribu rupiah. “Sekarang sepi banget. Hanya dapat 50 ribu per hari,” kata Ani, Jumat, 1 Mei 2020.
Penghasilan suaminya yang bekerja sebagai sopir mobil rental juga tak bisa menambal kebutuhan hidup. Jasa sewa rental juga terimbas, sepi pemesan karena dampak pandemi. Ani dan suami harus ekstra keras mengetatkan pengeluaran kebutuhan sehari-hari, misalnya menghemat belanja untuk kebutuhan dapur.
Hidup di relokasi perumahan menurut Ani tak sebaik ketika dia menggarap lahan pertanian. Dua tahun lalu, pasangan ini bertani padi dan sayur di lahan seluas 1.000 meter persegi. Dia tak perlu mengeluarkan duit untuk belanja kebutuhan pangan sehari-hari. Di lahan pertaniannya yang subur melimpah padi, cabai, terong, tomat, dan kacang panjang.
Kini perempuan berumur 42 tahun ini harus pontang-panting mencari jalan untuk membayar berbagai kebutuhan. Duit ganti rugi pembebasan lahan dari PT Angkasa Pura sebagai pihak yang menjalankan proyek bandara telah habis. Ani dan enam anggota keluarganya mendapatkan ganti rugi sebesar Rp 2 miliar. Uang itu kemudian dibagi-bagi.
Ani dan suami menggunakannya untuk membeli lahan relokasi seluas 200 meter persegi. Harga lahan di relokasi itu 500 ribu rupiah per meter. Sisanya ia gunakan untuk membeli mobil dengan cara menyicil untuk usaha rental. “Lebih enak bertani karena penghasilan ajek,” kata Ani.