Bola mata Indarwati menerawang kosong. Dia kehilangan pekerjaan sebagai petani karena proyek Yogyakarta International Airport. Di kawasan relokasi perumahan Desa Palihan, Kecamatan Temon ini, ibu dua anak tersebut menganggur. Padahal, kebutuhan hidup semakin bertambah dan situasi semakin buruk saat pandemi Covid-19 menghajar.
Sebelum tergusur karena mega proyek, perempuan berumur 44 tahun ini menjadi buruh petik cabai di lahan yang kini menjadi bandara. Satu kali memetik panen cabai, Indarwati bisa mendapatkan upah 100 ribu rupiah. Keluarganya juga mengandalkan tabungan dari hasil beternak kambing dan ayam. Tapi, kini kehidupannya tercerabut. “Sama sekali tak ada penghasilan,” kata Indarwati.
Ia mengatakan menerima ganti rugi pembebasan lahan bandara sebesar Rp 189 juta. Uang ganti rugi itu telah habis untuk membeli tanah di tempat relokasi. Dia menghitung pengeluaran untuk membeli tanah seluas 200 meter sebesar Rp 117 juta.
Dia harus berjibaku menanggung kebutuhan ongkos sekolah anaknya dan hajatan sosial. Penghasilan suaminya pas-pasan, hanya bekerja sebagai buruh bangunan, sehari memperoleh rata-rata hanya Rp 80 ribu.
Mantan buruh pabrik sepatu yang pernah bekerja di Tangerang ini mengeluhkan tak adanya pelatihan untuk perempuan atau ibu-ibu yang terdampak proyek bandara baru.
Sebenarnya, PT Angkasa Pura dan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo pernah memberikan pelatihan untuk perempuan yang tinggal di relokasi perumahan. Tapi, menurut Indarwati pelatihan itu tak sesuai kebutuhan. Misalnya, pelatihan Bahasa Inggris. Warga juga tak pernah mendapatkan pelatihan untuk mengelola keuangan atau modal.
Janji PT Angkasa Pura untuk memberikan pekerjaan terhadap perempuan yang terdampak proyek bandara tak terwujud. Indarwati tak memenuhi persyaratan pendidikan dan umur.
Kepala Dusun Kragon, Palihan, Wiharto mengatakan di relokasi perumahan itu terdapat 99 kepala keluarga yang tinggal. Mereka sebelum tergusur bandara mayoritas bekerja sebagai petani.
Dari jumlah tersebut, 80 persen menganggur. Sebagian besar yang menganggur adalah ibu-ibu. Menagih janji PT Angkasa Pura dan Pemkab Kulonprogo yang saat sosialisasi menyebut menampung warga terdampak. Mereka menjanjikan pekerjaan di bandara. “Janji tak berbalas,” kata Wiharto.
Persyaratan yang diberikan PT Angkasa Pura tak bisa dipenuhi warga. Di perumahan itu, sebagian besar warga berumur 40 tahun ke atas. Padahal, kebutuhan umur tenaga kerja maksimal 30 tahun untuk bekerja di bandara. Warga terdampak bandara tak terserap untuk memenuhi pekerjaan yang dijanjikan PT Angkasa Pura dan Pemkab Kulonprogo.
Dampak dari pengangguran itu adalah terjadi putus sekolah untuk anak-anak keluarga terdampak proyek bandara. Sebagian besar mereka tak bisa melanjutkan pendidikan dari SMA ke jenjang selanjutnya.
Sama halnya dengan warga lainnya, penghasilan Wiharto juga turun drastis setelah tergusur proyek bandara. Sebelum tinggal di relokasi perumahan, dia bisa memanen padi hingga 5 ton sekali panen. Kini, dia hanya bisa memanen 6-7 kuintal pada lahan seluas 900 meter persegi.
Di relokasi itu pernah ada pelatihan dari lembaga pemberdayaan milik swasta, misalnya pelatihan mengolah keripik, bakpia. Tapi, pelatihan itu tak bertahan lama. “Warga kesulitan untuk memasarkan produk olahan,” kata Wiharto.
Dampak proyek nasional bandara tidak hanya mendera perempuan yang tinggal di relokasi perumahan Palihan. Tuginah, warga yang tinggal di Desa Bugel, Panjatan menyebutkan hampir semua warga terdampak proyek bandara kehilangan pekerjaan sebagai petani. Pelatihan yang ditawarkan Pemkab Kulon Progo tak sesuai kebutuhan.
Warga terdampak adalah petani yang tak butuh pelatihan seperti kemampuan Bahasa Inggris. Warga terdampak menurut dia lebih membutuhkan modal untuk mengelola lahan pertanian.
Kini Tuginah tak lagi bisa menanam padi. Ia pindah ke tempat yang baru dengan membeli lahan pertanian. Lahan itu hanya untuk menanam cabai keriting merah dan kangkung. Pandemi membawa dampak ekonomi. Harga cabai per kilogram turun dari Rp 14 ribu menjadi 7 ribu rupiah dan kangkung dari Rp 10 ribu menjadi 5 ribu per ikat. “Harga sayur tak stabil. Harus menghemat kebutuhan hidup,” kata dia.