TEMPO.CO, Jakarta - Bambang Kesowo, Menteri Sekretaris Negara era Presiden Megawati Soekarmoputri, melihat tiga masalah pelik dalam pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Menurut pakar hukum dan perundangan tersebut RUU Cipta Kerja mungkin bertujuan baik untuk menyederhanakan perizinan. Namun tujuan yang baik juga harus dituangkan secara tepat dalam rumusan undang-undang.
Dalam rapat dengar pendapat umum dengan DPR, Bambang menjelaskan tiga masalah dalam omnibus law adalah aspek formal, substansi, dan dimensi politik.
"Ini (RUU) tujuannya jelas dan dapat dipahami, tapi masalah substansi ini memang betul-betul jadi devil (setan)-nya," kata lulusan S2 Ilmu Hukum dan Perundangan dari Harvard Law School tersebut hari ini, Rabu, 29 April 2020.
Secara formal, Bambang melanjutkan, metode Omnibus Law belum diatur dalam tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yakni Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 15 Tahun 2019.
Ia lantas meminta DPR menimbang dengan bijak aspek formal menggunaan metode omnibus law.
Bambang kesowo mempertanyakan, apakah DPR akan tetap berpegang pada aturan pembentukan perundang-undangan, mengubah, atau menabraknya.
"Ini terus terang sangat bergantung dengan Ibu-Bapak semua."
Lalu secara substansi, Bambang mengungkapkan, ada lebih dari 1.200 daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Cipta Kerja yang harus dibahas oleh DPR.
Sejauh ini sudah ada sejumlah pasal yang menjadi perdebatan di publik, misalnya Pasal 170. Pasal itu hendak mengatur bahwa pemerintah pusat dapat mengubah undang-undang melalui peraturan pemerintah.
Menurut Bambang, keberadaan pasal itu bukan lagi karena salah ketik atau salah tafsir. Namun, dia menyebut pasal itu salah konsepsi sejak awal.
Adapun dalam dimensi politik, selama pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan terjadi benturan antarpartai politik.
Benturan itu dapat terjadi dalam pembahasan pembentukan perundangan dan faktor posisi politik tiap partai soal Omnibus Law RUU Cipta Kerja.