TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, mengatakan akan menguatkan dukungan terhadap Pancasila melalui pendekatan agama. “Saya kemarin itu mau kembalikan pakai itu, maksud saya penguatannya melalui agama. Tapi yang tertangkap kan beda,” kata Yudian saat ditemui Tempo di Kantor BPIP, Jakarta, Kamis, 13 Februari 2020.
Yudian menuturkan, hal itu menjadi perhatian karena persentase dukungan terhadap Pancasila terus menurun dalam 13 tahun terakhir. Merujuk pada survei LSI Denny JA pada 2018, publik yang pro Pancasila mencapai 85,2 persen pada 2005. Pada 2010, angkanya menurun menjadi 81,7 persen. Kemudian pada 2015, angkanya menjadi 79,4 persen. Angka semakin menurun pada 2018 menjadi 75,3 persen.
Yudian menganggap, reaksi masyarakat atas pernyataannya tentang agama dan Pancasila menandakan perlu ada tukar pikiran dan masukan. Sebab, masyarakat salah memahami konteks pernyataannya.
Rektor UIN Sunan Kalijaga itu mengatakan bahwa agama bukan musuh Pancasila. Tetapi musuh Pancasila adalah perilaku orang-orang berpikiran ekstrim yang mempolitisasi agama dan menganggap dirinya mayoritas. “Agama direduksi hanya pada poin kecil yang mereka mau, menutup yang lain. Nah, kelompok ini pada kenyataannya di masyarakat minoritas, tapi mereka mengklaim mayoritas,” ujarnya.
Jika perilaku tersebut tidak dikelola dengan baik, Yudian khawatir munculnya perpecahan. Padahal, persatuan merupakan perintah yang tertuang dalam kitab suci. Di Al Quran, misalnya, perintah bersatu tersirat dalam Surat Ali Imran ayat 103 yang berbunyi, berpegang teguh kalian semua dengan tali Allah dan jangan bercerai berai.
Dalam berbangsa dan bernegara, tali yang menjadi ikatan warga negara tertuang dalam sila-sila Pancasila. “Kita punya sikap masing-masing, baru saya tarik ke konsensus tingkat tinggi. Tertinggi namanya Pancasila. Jadi Pancasila ini konsensus tertinggi bangsa ini,” kata dia.
Rektor UIN Sunan Kalijaga itu juga mengimbau pada semua umat beragama untuk menempatkan konstitusi di atas kitab suci dalam berbangsa dan bernegara. Adapun untuk urusan beragama, kembali ke masing-masing pribadi masyarakat.
“Saya menghimbau pada orang Islam, mulai bergeser dari kitab suci ke konstitusi kalau dalam berbangsa dan bernegara. Sama, semua agama. Jadi kalau bahasa hari ini, konstitusi di atas kitab suci. Itu fakta sosial politik,” ujarnya.