TEMPO.CO, Jakarta - Cendekiawan muslim, Ulil Abshar Abdalla, mengatakan setiap negara asal anggota ISIS memiliki tanggung jawab untuk memulangkan warga negaranya yang menjadi pendukung ISIS di Turki dan Suriah. “Semuanya memiliki tanggung jawab moral bersama untuk repatriasi warga mereka, agar mereka bisa hidup di dalam komunitas yang normal dan pelan-pelan mengalami deradikalisasi secara alamiah,” kata Ulil dalam cuitannya di Twiiter, Rabu, 12 Februari 2020. Tempo dipersilakan mengutip cuitan Ulil.
Ulil mengatakan, keberadaan pendukung ISIS di Suriah dan Turki ini justru rentan membuat mereka kian mengalami radikalisasi lebih jauh. Hal tersebut akan menjadi masalah keamanan global dalam jangka panjang. Ia yakin di antara para WNI eks ISIS ini juga banyak yang kecewa terhadap utopia dan mimpi surga yang ditawarkan ISIS.
Kisah kekecewaan mereka sudah banyak dibaca di berbagai media. “Mereka justru bisa menjadi jubir (juru bicara) untuk mendukung program deradikalisasi.”
Meski begitu, ada banyak dari WNI eks ISIS ini yang masuk kategori die hard, orang-orang yang keras kepala tetap percaya pada ideologi ISIS apapun yang terjadi. Terhadap mereka ini, kata Ulil, pemerintah jelas perlu melakukan pengawasan dan penanganan khusus.
“Masih ada soal yang menggantung.” Meminjam pertanyaan @ariel_heryanto, Ulil menanyakan soal pendukung ISIS yang ingin pulang, menyatakan tobat dan benar-benar ingin kembali menjadi warga negara yang baik. Apalagi, banyak di antara mereka yang masih anak-anak dan remaja yang baru tumbuh menjadi manusia.
“Mereka tentu memiliki impian sebagaimana anak-anak lain. Pemerintah mestinya tak boleh mematikan impian mereka ini.”
Ulil sendiri menghormati keputusan pemerintah yang tak akan memulangkan hampir 700 WNI eks ISIS yang tersebar di sejumlah negara, seperti Suriah dan Turki. Namun, ia memandang tak semua argumen penolakan repatriasi pemerintah valid. Misalnya, pemerintah beralasan mereka akan menularkan virus terorisme di Indonesia.
Ulil mengatakan, penularan ideologi jihadisme di era digital ini banyak mengambil bentuk kontak tak langsung. “Penyebaran virus ideologi ini lebih banyak melalui ruang maya, dengan cara tersembunyi slaman-slumun.”
Meski anggota ISIS tidak diizinkan pulang ke negeri masing-masing, mereka tetap bisa melakukan rekrutmen anggota secara jarak jauh atau online seperti selama ini. Karena itu, tidak memulangkan mereka juga bukan solusi.
Soal mereka membakar paspor dan menolak jadi WNI, kata Ulil, apapun yang terjadi, pemerintah tidak boleh membiarkan WNI menjadi stateless. Secara kemanusiaan juga jelas kurang bertanggungjawab membiarkan WNI menjadi tidak berkewarganegaraan. Karena apapun kesalahan mereka, kata Ulil, negara Indonesia harus tetap memberi mereka status kewarganegaraan.
Ulil menuturkan, masyarakat selama ini menggambarkan negeri sebagai Ibu Pertiwi. Salah satu watak seorang ibu adalah menerima dengan senang hati anak-anaknya yang ingin pulang ke rumah, senakal apapun anak-anak mereka itu. “A mom will always embrace her children in her lap, no matter what.”