TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat terorisme Universitas Indonesia Ridlwan Habib mengatakan proteksi ideologi dan sistem deradikalisasi di Indonesia belum ideal untuk menampung orang Indonesia pendukung ISIS yang kembali ke tanah air. "Sudah ada keberhasilan beberapa napi terorisme sembuh tetapi pada faktanya ada napi yang tidak sembuh,” kata Ridlwan dalam diskusi Crosscheck bertajuk “Menimbang Kombatan ISIS Pulang” di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, Ahad, 9 Februari 2020.
Ridlwan mengatakan bekas narapidana terorisme itu mengebom kembali begitu keluar penjara, meski sudah menandatangani pembebasan bersyarat. “Harus hati-hati ketika mengambil opsi dipulangkan atau deradikalisasi dalam negeri." Selain Ridlwan, hadir pula staf ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin, anggota Komisi I DPR RI Fraksi NasDem Willy Aditya, dan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.
Soal ideologi, orang-orang pendukung ISIS ini berbeda dengan orang yang terjangkit virus Corona. Orang bisa dideteksi sembuh dengan indikator fisik, tetapi soal ideologi tidak bisa menggunakan itu. “Orang tidak bisa hanya menulis dalam kertas yang ditandatangani, saya sudah pro NKRI, karena sangat mungkin berbohong."
ISIS, kata Ridlwan, memiliki doktrin taqiyyah, mereka boleh berpura-pura di depan musuh. Jika Indonesia dianggap sebagai negara zalim, mereka boleh berbohong di depan otoritas negara. "Ini yang lebih berbahaya, menangis meminta dipulangkan ke Indonesia, tetapi ternyata hati nuraninya ideologinya belum sembuh, masih ingin membangun negara Islam."
Ridlwan mengatakan, alumni ISIS dari Suriah sangat didengar di kalangan bawah tanah ISIS. Pernah mereka berbeda dengan orang yang belum pernah ke Suriah. Mereka yang pernah ke Suriah, meski juru masak atau sekedar supir, akan dipandang lebih tinggi. “Sehingga bisa jadi sarana perekrutan pengambilan kader baru."