TEMPO.CO, Yogyakarta- Dosen Fakultas Filsafat Jawa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sindung Tjahyadi mengatakan kemunculan Keraton Agung Sejagad di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mirip dengan iming-iming atau janji-janji surga. Masyarakat Jawa, kata Sindung masyarakat Jawa memimpikan keadaan yang sejahtera, rakyat bahagia, tidak kekurangan apa-apa, aman, dan sejahtera seperti dalam cerita wayang.
Kemunculan kerajaan itu direproduksi terus menerus dan secara sosiologis berhubungan dengan tekanan atau kesulitan ekonomi. Fenomena itu berhubungan berhubungan dengan kondisi politik, sosial, ekonomi. Ada yang muncul secara alamiah sebagai mekanisme bertahan wong cilik. “Ada yang secara jeli melihat ini sebagai peluang ekonomi seperti di Purworejo yang pengikutnya mendapat iming-iming jabatan dan gaji,” kata Sindung ketika dihubungi, Jumat, 17 Januari 2020.
Fenomena munculnya kerajaan-kerajaan itu, kata dia ada yang positif dan negatif. Di Purworejo itu mirip dengan janji-janji surga, kebun kurma, dan imperium Sunda. Ingatan budaya masa lalu itu kemudian dimanfaatkan oleh beberapa orang dengan berbagai motif. Ada yang punya motif ekonomi seperti yang terjadi di Purworejo.
Ada juga yang bermotif kultural. Sindung menyebut kalangan yang menggunakan motif kultural ini semacam mencari tempat berteduh terkait dengan kesulitan hidup.
Di kawasan-kawasan pelosok muncul imajinasi tentang kejayaan masa lalu dan dalam batas tertentu tetap menjadi landasan identitas mereka. Banyak perkumpulan-perkumpulan dengan membawa identitas kerajaan Majapahit. Perkumpulan itu ada yang menggunakan media sosial untuk menjaring pengikutnya.
Ada pula yang masih tradisional. Jumlah anggotanya 50-an hingga ribuan. Orientasi perkumpulan itu bukan seperti yang terjadi di Purworejo. Mereka ada untuk menjaga identitas atau motif kultural. Dia mencontohkan perguruan-perguruan silat di Jawa Timur yang membawa identitas kerajaan Majaphit. Sindung menyebut perkumpulan yang bermotif kultural itu sebagai hal yang positif untuk menjaga identitas masyarakat Jawa.
Keraton Agung Sejagad dipimpin “Sinuhun” Totok Santosa Hadiningrat dan Kanjeng Ratu Dyah Gitarja alias Fanni Aminadia, mantan staf iklan sebuah harian di Jakarta, memiliki pengikut sekitar 450 orang. Keraton Agung Sejagad mengklaim sebagai kerajaan atau kekaisaran dunia yang muncul karena telah berakhir "perjanjian 500 tahun" terhitung sejak hilangnya Kemaharajaan Nusantara, yaitu imperium Majapahit, pada 1518 sampai 2018.
Perjanjian 500 tahun tadi, kata dia, dilakukan antara Dyah Ranawijaya sebagai penguasa Majapahit dan Portugis sebagai wakil Barat. Wilayah kekuasaan meliputi bekas koloni Kekaisaran Romawi di Malaka pada 1518. Dengan berakhirnya perjanjian itu, berakhir pula dominasi kekuasaan Barat mengendalikan dunia yang diwakili Amerika Serikat.
Maka kekuasaan dan wilayah dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu Keraton Agung Sejagad sebagai penerus Medang Majapahit yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Polisi menangkap raja dan permaisuri dengan menggunakan pasal penipuan.