INFO NASIONAL — Perhutanan Sosial (PS) merupakan program nasional yang memberi akses kepada komunitas untuk mengelola kawasan hutan secara legal melalui surat keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Program yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat miskin ini digulirkan melalui lima skema, yakni hutan desa, hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, dan hutan kemitraan.
Hingga akhir September 2019, realisasi program PS telah mencapai 3,4 juta hektare melalui pemberian 6.053 SK kepada kelompok tani hutan dengan total penerima manfaat sebanyak 755.281 kepala keluarga (KK).
Pencapaian ini cukup menggembirakan, utamanya jika dilihat dari realisasi luasan hutan untuk program PS. Namun, dari segi penerima manfaat, keterlibatan perempuan masih dirasakan terbatas, kalau tidak mau dikatakan rendah.
Sejauh ini, tercatat baru dua kelompok perempuan yang memainkan peran sentral dalam mendapatkan SK PS, yaitu Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama di Desa Pal VIII, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu seluas 10 hektare serta Kelompok Perempuan Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Aceh seluas 251 hektare.
Sementara di daerah-daerah lain, keterlibatan perempuan masih terbatas sebagai anggota kelompok yang relatif pasif. Padahal, semangat untuk menjadikan kelompok perempuan sebagai pelaku utama dalam program PS sudah disampaikan langsung oleh Ibu Menteri LHK Siti Nurbaya, saat berdialog dengan 120 pemimpin lokal perempuan dan aktivis perempuan di Manggala Wanabakti, pada 25 Maret 2019.
Komitmen dari ibu Menteri LHK saat itu adalah pentingnya program PS mengedepankan nilai-nilai kesetaraan gender sehingga kelompok perempuan perlu diprioritaskan untuk mendapatkan izin PS dan fasilitasi pengelolaannya setelah mereka mendapatkan izin tersebut.
Masih terbatasnya keterlibatan perempuan dalam program PS disebabkan tiga hal. Yakni kurangnya pengetahuan mereka tentang PS, minimnya pendamping dari CSO yang membantu pengusulan wilayah hutan untuk dikelola oleh kelompok perempuan, dan regulasi yang tidak kuat mendukung mereka.
Di sisi lain, cerita sukses kelompok perempuan yang telah mendapatkan izin PS belum tersebar kepada kelompok-kelompok perempuan di daerah lain akibat minimnya forum-forum untuk membagikan cerita-cerita sukses tersebut. Selain itu, belum terinternalisasinya pendamping atau Pemda akan pentingnya usulan PS dari kelompok perempuan.
Dengan melihat kondisi semacam ini, maka pertanyaannya adalah upaya-upaya apa yang perlu dilakukan oleh semua pihak (pemerintah, CSO, perguruan tinggi, dan media) agar keterlibatan perempuan dalam PS meningkat?
Lalu terobosan apa yang perlu dikembangkan untuk memanfaatkan program PS dalam upaya menjaga ketahanan pangan dan peningkatan ekonomi keluarga? Strategi apa yang perlu dilakukan untuk memastikan lahirnya pemimpin muda perempuan di setiap komunitas yang menggeluti program PS secara berkelanjutan?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan dibahas dalam diskusi tematik: Akses Perempuan dalam Program Perhutanan Sosial, sebagai bagian dari rangkaian Festival Perhutanan Sosial Nasional (PESONA) 2019.
Diskusi tematik ini diselenggarakan oleh Program Setapak - The Asia Foundation (TAF) pada 27 November 2019 di Gedung Manggala Wana Bhakti (ruang Sonokeling A). Lima pemimpin lokal perempuan dari Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara sebagai narasumber sementara dan kalangan pemerintah, aktivis perempuan serta perguruan tinggi sebagai penanggap. (*)