TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum pidana Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan Komisi Pemilihan Umum bisa memberlakukan larangan bekas narapidana korupsi mencalonkan diri di pemilihan kepala daerah atau pilkada. Menurut dia, kewenangan ini tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Berdasarkan kewenangan lembaga yang dibentuk oleh undang-undang itu berhak membentuk peraturannya sendiri," kata Feri kepada Tempo, Selasa, 19 November 2019.
Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 itu menyatakan bahwa lembaga, badan, atau komisi yang dibentuk atas dasar UU bisa menetapkan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan itu memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan UU yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
"Berdasarkan UUD dan UU 11 tadi, karena itu kewenangan KPU, ya sah-sah saja KPU melakukan itu." Feri mengatakan, untuk menjalankan tugasnya KPU bisa membuat peraturan yang melarang bekas koruptor mencalonkan diri di pilkada.
Menurut dia, aturan itu dibuat dengan harapan agar masyarakat tidak harus memilih orang-orang yang yang punya catatan hitam di masa lalu. Ia menilai larangan itu juga baik agar menjadi hukuman bagi para politikus untuk tidak korup. Sebab, hak-hak politik mereka dapat dibatasi demi kepentingan publik yang lebih luas.
Meski begitu, Feri mengakui larangan eks napi korupsi mencalonkan diri melalui pilkada menuai penolakan dari pihak yang merasa dirugikan. Dewan Perwakilan Rakyat pun menyatakan, peraturan KPU itu bisa diuji materi di Mahkamah Agung dan dibatalkan, seperti yang terjadi sebelumnya dengan PKPU larangan eks koruptor menjadi calon legislatif. "DPR sebagai pemain dalam ruang ini mestinya menghormati kewenangan KPU, bukan sebagai peserta malah mempermasalahkan sikap wasit dalam hal ini KPU dalam mengatur pertandingan."