TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengungkapkan alasannya tetap memasukkan pasal mengenai larangan mantan terpidana korupsi mencalonkan kepala daerah dalam Pilkada 2020. "Ada novum baru, ada fakta baru yang dulu menjadi argumentasi dan sekarang patah argumentasi itu," kata Arief di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, 11 November 2019.
Fakta baru yang ditemukan KPU adalah adanya calon kepala daerah yang sudah ditangkap, ditahan, tapi tetap terpilih. Kasus itu terjadi di Tulungagung dan Pilgub Maluku Utara. "Jadi sebetulnya apa yang dipilih oleh pemilih menjadi sia-sia karena yang memerintah bukan yang dipilih, tapi orang lain," katanya.
Fakta kedua, ada argumentasi jika mantan napi korupsi sudah ditahan dan menjalani pidana dianggap sudah bertobat dan tidak akan mengulangi kesalahan. Nyatanya, kata Arief, kepala daerah di Kudus yang sudah pernah dipidana karena kasus korupsi kembali terlibat kasus korupsi.
"Nah, atas dasar dua fakta ini yang kami menyebutkan sebagai novum. Maka kami mengusulkan ini tetap diatur di pemilihan kepala daerah," kata Ketua KPU.
KPU juga memasukkan larangan mantan napi kasus korupsi mengikuti pencalonan anggota DPR dan DPRD dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018. Namun, pasal dalam PKPU itu digugat oleh Wa Ode Nurhayati. Pada 13 September 2018, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan itu.
Hakim Agung membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g PKPU Nomor 20 Tahun 2018, dan Pasal 60 huruf j PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD sehubungan dengan adanya larangan mantan napi korupsi menjadi bakal calon legislatif. Sedangkan larangan untuk bandar narkoba dan pelaku kejahatan terhadap anak menjadi caleg tidak dibatalkan.