TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar mengkritik absennya sejumlah isu dalam proses uji kepatutan dan kelayakan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat terhadap calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Komisaris Jenderal Idham Azis kemarin, 30 Oktober 2019. Padahal menurut Haris, masalah kepolisian masih berkutat di persoalan yang sama, mulai dari profesionalitas penanganan perkara, keberpihakan pada orang berkuasa dan berpunya ketimbang masyarakat kecil, masih adanya sejumlah praktik kekerasan, dan dugaan polisi menjadi bagian dari alat eksistensi rezim.
"Ini gimana? Karena mayoritas partai-partai DPR partai penguasa semua. Semua sandiwara aja DPR," kata Haris kepada Tempo, Kamis, 31 Oktober 2019.
Tudingan bahwa polisi menjadi alat kekuasaan menguat karena maraknya kriminalisasi terhadap orang-orang yang berbeda pandangan dengan pemerintah. Isu ini juga santer di pusaran perhelatan pemilihan presiden 2019. Polisi dalam sejumlah kesempatan membantah menjadi alat politik penguasa.
Haris mengatakan, pengalaman struktural Idham Azis memang memenuhi untuk menjadi Tri Brata-1. Idham di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Wakil Kepala Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Polri, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Kapolda Metropolitan Jakarta Raya, hingga Kepala Badan Reserse Kriminal Polri. "Secara struktur pengalamannya oke, tapi yang jadi catatan prestasinya di masing-masing posisi itu."
Salah satu kinerja Idham yang banyak disorot ialah penanganan kasus penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan. Menurut Haris, sewaktu menjadi Kapolda Metro Jaya Idham tak membawa kemajuan apa pun dalam pengungkapan kasus Novel. Begitu pula saat Idham naik pangkat menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal.
Haris menilai, faktor kedekatan dengan mantan Kapolri Tito Karnavian yang membuat Idham Azis dipilih menjadi Kapolri. Majalah Tempo edisi Senin, 28 Oktober 2019 menyebutkan Tito menyodorkan nama Idham kepada Presiden Jokowi.