TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro mengatakan gerakan masyarakat sipil harus kuat untuk mengimbangi pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang minim oposisi.
Menurut dia, masyarakat tak bisa lagi bergantung pada Dewan Perwakilan Rakyat yang sibuk dengan urusan mereka sendiri. “Yang bisa diharapkan sekarang adalah gerakan konsolidasi civil society, kita sudah tidak bisa lagi bergantung pada peran DPR yang sangat sibuk dengan dirinya sendiri,” kata Siti saat dihubungi, Jumat, 18 Oktober 2019.
Menjelang pelantikan presiden 20 Oktober mendatang, sinyal akan bergabungnya Partai Gerindra ke koalisi pemerintahan semakin menguat. Gerindra bahkan disebut-sebut bakal mendapatkan sejumlah kursi menteri. Padahal, partai ini mengusung Prabowo Subianto yang berhadapan dengan Jokowi dalam Pilpres 2019.
Siti mengatakan model koalisi gemuk sebenarnya pernah terjadi di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kala itu, kata dia, partai oposisi hanya diisi oleh Partai Hanura dan PDIP. “Istilahnya koalisi pelangi,” kata dia.
Ketika koalisi sudah semakin gemuk, kata Siti, fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan oleh DPR tidak berfungsi. Di sanalah, kata dia, fungsi pengawasan jalannya pemerintahan diambil alih oleh masyarakat sipil. Ia menilai pengawasan masyarakat sipil di era SBY cukup berhasil. Pemerintah, kata dia, cukup merespon ketika mendapatkan kritik. “Tidak ada labeling makar atau tudingan radikalisme,” kata dia.
Siti beranggapan era pemerintahan Jokowi punya gaya yang berbeda dalam merespon desakan masyarakat sipil. Karena itu, ia berharap, dengan minimnya oposisi pemerintah di DPR pada pemerintahan Jokowi periode kedua, gerakan masyarakat sipil dapat lebih dikonsolidasikan. “Dalam teori, semakin kencang tekanan rezim, semakin mengkristal gerakan civil society dan perannya semakin menonjol,” kata dia.