TEMPO.CO, Jakarta - Bupati Jayawijaya John Richard Banua mendapati kantornya di Wamena sudah terbakar pada Senin, 23 September 2019. Massa melumatkannya setelah demonstrasi yang dipicu tuduhan rasisme di sebuah sekolah.
Sebelumnya, John meninggalkan kantornya yang sudah dipadati massa. Dia harus ke kantor Kepolisian Resor Jayawijaya untuk meminta polisi membebaskan tujuh pelajar yang ditangkap karena kedapatan membawa senjata.
Ketika Bupati John pergi, begitu dia mendengar cerita, seorang pelajar dibopong karena tertembak di bagian kaki. John tak tahu siapa yang menembak.
"Di dalam kantor Bupati, tidak ada aparat," ucapnya dikutip dari Majalah Tempo edisi Senin, 5 Oktober 2019.
John ketika itu buru-buru kembali ke kantornya untuk memberitahu demonstran bahwa tujuh rekan mereka sudah dibebaskan.
Apa daya, dia mendapati kantornya sudah hangus dilalap si jago merah. Rupanya para pelajar lebih dahulu melampiaskan kemarahan dengan membakar Kantor Bupati Jayawijaya di Wamena.
Semupa para pelajar menggelar unjuk rasa di SMA PGRI 1 Wamena. Mereka menuntut kasus dugaan rasisme oleh seorang guru ekonomi terhadap siswa yang terjadi lima hari sebelumnya dituntaskan.
Tempo menemukan bahwa yang terjadi adalah salah paham yang hingga kini tak terang ujungnya. Kepada polisi, guru tersebut menyatakan mengucapkan kata "keras." Tapi ditangkap oleh seorang murid sebagai "kera."
Ada siswa yang mengaku mendengar kata "kera," sedangkan sisanya tak mendengarnya.
Tak cuma demonstrasi, mereka mulai melempari kaca sekolah dengan batu, merobohkan tiang bendera, dan merobek bendera.
Karena situasi makin tak terkendali, seorang guru menghubungi polisi. Menurut temuan Komnas HAM, perusakan bendera dilakukan dua hari sebelumnya.
"Pada Sabtu malam, ada orang panjat pagar sekolah. Mereka merusak kaca dan merobohkan tiang bendera," tutur Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua, rits Ramandey.
Kemudian pada Senin pagi, dua orang yang mewakili kelompok pelajar menyampaikan tuntutan kepada polisi. Mereka adalah BE, 19 tahun, alumnus SMA PGRI 1 Wamena, dan Vn (23) yang menyebut diri sebagai tokoh pemuda setempat.
Polisi pun mengarahkan siswa membuat laporan resmi ke Polres Jayawijaya. Kasat Reskrim Polres Jayawijaya Ajun Komisaris Suheriadi menyebut dua pemuda inilah yang memprovokasi pelajar agar berduyun-duyun ke kantor polisi.
Sekitar 500 meter dari SMA PGRI 1, rombongan pelajar melewati SMA YPK Betlehem. Di sana sejumlah siswa berseru, "Yang merasa monyet, ikut kita!" Terikan ini tak ditanggapi murid SMA YPK dan sempat terjadi perkelahian dengan siswa SMA YPK.
Di persimpangan Jalan Bhayangkara dan Jalan Sudirman, iring-iringan pelajar terbelah. Sebagian bergerak ke kiri menuju SMA Negeri 1 Wamena, sisanya mengarah ke Kantor Bupati Jayawijaya dan SMA Yapis letaknya bersebelahan.
Arak-arakan mengajak para murid SMA Yapis berunjuk rasa hingga perkelahian kembali pecah. Polisi menangkap tujuh pelajar yang kedapatan membawa senjata.
Melihat iring-iringan massa kian ricuh, polisi memutuskan menutup jalur menuju kota. Suheriadi juga meminta toko-toko di Wamena tutup untuk menghindari penjarahan.
Massa terpecah ke banyak tempat. Sebagian bertahan di kantor bupati, lainnya dipukul mundur polisi ke wilayah Homhom agar tak membuat kerusuhan di pusat kota.
Seusai mendapati kantornya di Wamena terbakar, Bupati John lantas membubarkan massa. Pelajar yang dibubarkan ini malah bergabung dengan massa di Homhom dan Pikhe. Di sana, massa membakar ratusan ruko.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | I WAYAN AGUS PURNOMO