TEMPO.CO, Samboja - Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengambil alih proses seleksi capim KPK. SAKSI menyayangkan proses wawancara dan uji publik yang dianggap meloloskan calon bermasalah.
"Pansel capim KPK cenderung abai terhadap rekam jejak para calon yang seharusnya dijadikan pertimbangan pokok sejak awal seleksi," kata anggota SAKSI FH Unmul, Herdiansyah Hamzah, di Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis, 29 Agustus 2019.
Rekam jejak bermasalah itu diantaranya dugaan pelanggaran etik, mengintimidasi pegawai KPK, hingga tidak patuh terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Berdasarkan situasi tersebut, SAKSI FH Universitas Mulawarman menyatakan sejumlah sikap. Pertama, Pansel capim KPK harus menunjukkan peta dan informasi seobjektif mungkin terhadap 20 capim KPK kepada Presiden, terutama mereka yang rekam jejaknya bermasalah.
Kedua, Presiden harus mengambil kendali utama dalam proses seleksi capim KPK. Tujuannya agar pimpinan KPK kedepan betul-betul diisi orang-orang yang punya integritas dan rekam jejak yang memadai, bukan sebaliknya. "Meloloskan orang-orang yang memiliki rekam jejak buruk, sama saja dengan membunuh KPK sekaligus membunuh harapan rakyat Indonesia," kata Herdiansyah.
Ketiga, Presiden harus terbuka terhadap masukan dan kritik dari berbagai kalangan, terutama dari masyarakat sipil, baik kritik terhadap capim KPK yang memiliki rekam jejak yang buruk maupun pansel capim KPK yang terkesan enggan memenerima kritik, bahkan cenderung defensif terhap masukan dan kritik publik.
Keempat, SAKSI menyerukan kepada seluruh komponen masyarat sipil untuk mengawal proses seleksi capim KPK ini secara konsisten. Tujuannya agar pimpinan KPK nantinya dapat melanjutkan agenda-agenda pemberantasan korupsi yang sudah dikerjakan selama ini, sembari tetap memberikan kritik yang konstruktif.