TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa anggota komisi VI DPR Bowo Sidik Pangarso menerima suap sebanyak US$ 163.733 dan Rp 611 juta. Uang itu berasal dari dua petinggi perusahaan pelayaran.
"Padahal patut diduga hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya," kata jaksa KPK, Kiki Ahmad Yani, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2019.
Kiki menuturkan penerimaan pertama eks politikus Partai Golkar itu berasal dari General Manager Komersial PT Humpuss Transportasi Kimia Asty Winasti. Jumlahnya US$ 163.733 dan Rp 311 juta yang diterima melalui orang kepercayaannya Indung. Suap dengan jumlah sekitar Rp 2,5 miliar itu diberikan agar Bowo membantu PT Humpuss mendapatkan kontrak kerja sama pengangkutan amoniak milik PT Pupuk Indonesia Logistik.
Pemberian berawal saat PT Pupuk Indonesia Holding Company memutus kontrak pengangkutan amoniak dengan PT Humpuss pada 2015. Kontrak kerja sama itu kemudian dialihkan kepada anak usaha PIHC, PT Pupuk Indonesia Logistik. Tak terima dengan pemutusan itu, Asty kemudian meminta Bowo membantu perusahaannya memperoleh kembali kontrak kerja sama yang diputus. Sejak itu, Bowo bergerilya menemui sejumlah pejabat PIHC, salah satunya Direktur Utama Aas Asikin Idat.
Bowo juga sempat mempertemukan Asty dengan sejumlah pejabat perusahaan pupuk pelat merah itu. Dalam pertemuan itu, Bowo meminta agar kerja sama penyewaan kapal antara PT HTK dan PT PIHC dilanjutkan. Aas setuju, dan menyuruh Asty berkoordinasi dengan bawahannya, salah satunya adalah Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Logistik Ahmadi Hasan. PT Pilog dan PT Humpuss akhirnya meneken kontrak kerja sama pada 9 Juli 2018.
Atas jasanya kepada PT Humpuss, Bowo meminta fee sebanyak US$2 untuk tiap metrik ton amoniak yang diangkut kapal MT Griya Borneo. Namun, nominal yang disepakati akhirnya turun menjadi US $1,5 per metrik ton. Bowo meminta tambahan fee yang akhirnya diambil PT HTK dari hasil sewa kapal MT Pupuk Indonesia untuk mengangkut gas elpiji.
Asty kemudian memberikan duit kepada Bowo secara langsung atau melalui pegawainya Indung secara bertahap, yakni pada 8 Mei 2018 sebesar, US$35 ribu; 13 Juli 2019, US$ 20 ribu; 14 Agustus 2018, US$ 20 ribu. Setelah itu, Bowo kembali menerima uang melalui Indung sejumlah, Rp 221,5 juta pada Oktober 2018, US$ 59.587 pada November 2018, US$ 21.327, US$ 7.819, Rp 89,4 juta pada 27 Maret 2019.
Selain dari Asty, jaksa KPK menyebut Bowo juga menerima uang dari Direktur Utama PT Ardila Insan Sejahtera Lamidi Jimat sejumlah Rp300 juta. Uang diberikan karena Bowo membantu perusahaan kapal itu menagih utang sebesar Rp2 miliar dari PT Djakarta Lloyd. Utang itu merupakan pembayaran pekerjaan jasa angkutan dan pengadaan BBM yang sudah diberikan PT Ardila ke Djakarta Lloyd pada 2009.
Selain itu, Lamidi juga meminta bantuan Bowo melobi Djakarta Lloyd agar perusahaannya bisa mendapatkan pekerjaan penyediaan BBM jenis Marine Fuel Oil (MFO) untuk kapal-kapal Djakarta Lloyd. Atas permintaan bantuan itu, Bowo mengatur pertemuan antara Lamidi dan Direktur Utama PT Djakarta Lloyd Suyoto. Setelah masalah utang selesai dan PT Ardila mendapatkan pekerjaan itu, Lamidi menyerahkan duit sebanyak Rp300 juta secara bertahap pada Oktober hingga Desember 2019.
"Terdakwa menyatakan pemberian uang tersebut akan digunakan untuk keperluan dapil daerah pemilihan," kata Kiki.
Bowo tak cuma didakwa menerima suap, tapi juga gratifikasi sebanyak Rp8 miliar. Uang itu kemudian ia bungkus dalam ratusan ribu amplop untuk membeli suara alias serangan fajar pada Pileg 2019. Uang tersebut berasal dari pengurusnya Dana Alokasi Khusus di Kabupaten Meranti pada 2016 sebesar Sin$250 ribu. Bowo juga didakwa menerima Sin$50 ribu saat mengikuti acara Musyawarah Nasional Partai Golkar di Denpasar Bali untuk pemilihan ketua umum Partai GOLKAR Periode tahun 2016-2019.
Selain itu, Bowo Sidik juga menerima Sin$ 200 ribu pada 2017. Duit itu terkait pembahasan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Gula Rafinasi. Terakhir, Bowo menerima Sin$ 200 ribu pada 22 Agustus 2017. Penerimaan diduga terkait kedudukannya selaku wakil ketua Komisi VI DPR yang bermitra dengan PT PLN.