TEMPO.CO, Jakarta - Upaya pimpinan jaringan teroris Jamaah Islamiah (JI) Para Wijayanto menata ulang setelah kelompok itu dibubarkan pengadilan pada 2008 pupus setelah ia diringkus Detasemen Khusus Antiteror Polri di Hotel Adaya, Bekasi, pada 28 Juni 2019.
Dilaporkan majalah Tempo edisi 13 Juli 2019, setelah JI dibubarkan pada 2008, Para bersama tokoh-tokoh lain berusaha membentuk struktur baru. “Mereka membuat organisasi menjadi lebih sederhana,” ujar mantan narapidana terorisme, Nasir Abbas, yang juga sempat menjadi mentor Para Wijayanto saat latihan militer di Filipina.
Baca juga: Pengamat Terorisme Sebut Kelompok JI Aktif di Bidang Sosial
Nasir menyebutkan Para yang memimpin JI setelah polisi berturut-turut menangkap Abu Bakar Ba’asyir, Abu Rusdan, Adung, dan Zarkasih. Menurut Nasir, amir Jamaah Islamiyah yang ditahan polisi otomatis gugur kepemimpinannya dan akan langsung digantikan tokoh lain yang dianggap pantas oleh anggota organisasi yang tersisa. “Dari senioritas dan pengalaman tempur, Para memenuhi syarat menjadi pemimpin JI,” tutur Nasir.
Bermukim selama empat bulan di Filipina, Para berlatih ilmu intelijen, menembak, dan merakit senjata. Latar belakangnya sebagai insinyur teknik membuat Para menguasai keterampilan membuat senapan.
Baca juga: Polisi Cari Kebun Sawit Jaringan Jamaah Islamiyah Para Wijayanto
“Dia itu blacksmith,” ujar Nasir. Blacksmith adalah julukan di JI bagi seseorang yang ahli menempa besi menjadi senjata.
Para masuk daftar buron polisi sejak 2003. Ia berhasil lolos dari kejaran polisi setelah lolos dari penggerebekan pada 12 Juli 2003. Jejaknya baru terendus lagi sepuluh tahun kemudian. Para mengawali aksi terornya pada 24 Desember 2000. Dia terlibat dalam serangan teror bom sejumlah gereja pada saat natal. Saat itu, Para beraksi bersama Umar Patek.
Pada 2002, Para aktif di dalam teror bom bali I. Dalam insiden itu 202 orang tewas dan 209 lainnya luka-luka. Diakui Dedi, Para memiliki kemampuan militer dan merakit bom yang sangat baik. Apalagi, Para pernah bergabung dengan Noordin M Top dan Ali Ashari.
Tiga tahun kemudian atau pada 2005 sampai 2007, Para terlibat kerusuhan di Poso Sulawesi Tengah yang menewaskan 14 warga sipil dan dua anggota Polri.
Para aktif mengirimkan kadernya ke Suriah untuk mempelajari militer dan terorisme. Ia telah memberangkatkan enam kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Meski begitu, tak semua berhasil dikirim ke Suriah. "Ada yang berhasil tiba di Suriah, ada juga yang dideportasi kembali ke Tanah Air," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di kantornya, Jakarta Selatan pada Senin, 1 Juli 2019.
Baca selengkapnya di: https://majalah.tempo.co/read/158027/pandai-besi-setelah-dua-windu
FIKRI ARIGI | MAJALAH TEMPO | ANDITA RAHMA