TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menahan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Nurdin Basirun di rumah tahanan (Rutan) K4 Cabang KPK pada Jumat, 12 Juli 2019. Gubernur Kepri ini ditahan setelah menjalani pemeriksaan di KPK dalam kasus suap izin prinsip dan reklamasi di sekitar Kepulauan Riau.
Baca: KPK Segel Ruang Rahasia Gubernur Kepri Nurdin Basirun
"NBA (Nurdin) ditahan untuk 20 hari pertama di Rutan kelas I cabang KPK atau K4," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Nurdin ditahan bersama dengan 3 tersangka lainya dalam kasus yang sama. Mereka adalah Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Edy Sofan, Kepala Bidang Perikanan Tangkap Budi Hartono dan Abu Bakar pihak swasta bernama yang memberikan suap.
Adapun saat digelandang ke dalam mobil KPK untuk dibawa ke rumah tahanan, Nurdin tak menyampaikan sepatah kata pun. Dengan mengenakan rompi oranye KPK, mantan Bupati Karimun ini langsung berjalan ke dalam mobil tanpa menghiraukan awak media yang menunggu sejak lama.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Nurdin Basirun sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap izin prinsip dan lokasi reklamasi di wilayah sekitar Kepulauan Riau. Penetapan tersangka Nurdin disampaikan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta.
"KPK meningkatkan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan dan menetapkan empat orang sebagai tersangka," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat mengelar konferensi pers, Kamis, 11 Juli 2019.
Kasus ini bermula ketika Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mengajukan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWPSK) Provinsi Kepulauan Riau untuk di bahas di Paripurna DPRD Kepulauan Riau.
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWPSK) Provinsi Kepri, terdapat beberapa pihak yang mengajukan permohonan izin pemanfaatan laut untuk proyek reklamasi untuk diakomodir dalam RZW3K Prov. Kepri. Salah satunya adalah Abu Bakar yang mengajukan izin pemanfaatan laut untuk melakukan reklamasi di Tanjung Piayu, Batam untuk pembangunan resort dan kawasan Wisata seluas 10,2 Hektar.
Padahal, Tanjung Piayu merupakan area yang memiliki diperuntukkan sebagai kawasan budidaya dan hutan lindung. "NBA, selaku Gubernur Kepulauan Riau kemudian memerintahkan BUH dan EDS untuk membantu ABK supaya izin yang dilakukan ABK segera disetujui," ucap Basaria.
Untuk mengakali hal tersebut, Budi Hartono menyuruh Abu Bakar agar menyebut akan membangun restoran dengan keramba sebagai budidaya ikan di bagian bawahnya. Upaya ini dilakukan agar seolah-olah terlihat seperti fasilitas budidaya. Setelah itu, Budi Hartono memerintahkan Edy Sofan untuk melengkapi dokumen dan data dukung agar izin Abu Bakar segera disetujui.
"Dokumen dan data dukung yang dibuat Edy Sofan tidak berdasarkan analisis apapun. Yang bersangkutan hanya melakukan copy paste dari daerah lain agar cepat selesai persyaratannya," kata Basaria. Nurdin diduga menerima uang dari Abu Bakar baik secara langsung maupun melalui Edy Sofan dalam beberapa kali kesempatan.
Baca: Gubernur Kepri Diduga Ingin Ubah Kawasan Lindung Jadi Resor
Pada 30 Mei 2019, Nurdin menerima sebesar Sing$ 5.000 dan Rp 45 juta. Kemudian esoknya, 31 Mei 2019 terbit izin prinsip reklamasi untuk Abu Bakar untuk luas area sebesar 10,2 hektar. Menyusul pada 10 Juli 2019, Abu Bakar memberikan tambahan uang sebesar Sing$ 6000 kepada Nurdin melalui Budi Hartono.