TEMPO.CO, Bogor - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan kejaksaan akan menunda eksekusi mantan staf tata usaha SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril, yang menjadi terpidana pelanggaran Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Baca: Kisah Baiq Nuril yang Terbang Mengejar Harapan Terakhir ke Jokowi
"Saya tidak akan buru-buru. Kami akan tentunya melihat bagaimana aspirasi masyarakat, rasa keadilan, dan seterusnya," kata Prasetyo di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin, 8 Juli 2019.
Prasetyo menjelaskan sejatinya Baiq telah menggunakan semua hak hukumnya untuk membela diri meski berujung pada penolakan peninjauan kembali kasusnya. Namun Prasetyo mempersilakan Baiq untuk meminta amnesti kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Meski menunda, Prasetyo tetap meminta Baiq kooperatif. "Jangan juga dia terkesan lari-lari. Enggak usah, lah, kami tidak terburu-buru," tuturnya.
Baiq Nuril adalah seorang staf tata usaha (TU) di SMAN 7 Mataram yang divonis 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta rupiah lantaran dianggap melanggar Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Baiq dianggap bersalah karena menyebarkan percakapan asusila kepala sekolah SMA 7 Mataram, Haji Muslim.
Nuril merekam ucapan bosnya lantaran tidak nyaman sekaligus untuk menjadi bukti guna menampik tuduhan bahwa ia memiliki hubungan khusus dengan kepala sekolah tersebut. Rekaman itu kemudian menyebar dan Nuril dilaporkan oleh bekas atasannya tersebut.
Hakim Pengadilan Negeri Mataram sempat menyatakan Nuril bebas dari semua tuduhan. Namun Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi ke MA. Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, kemudian membatalkan Putusan PN Mataram dan menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada Baiq Nuril dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan melalui Putusan Kasasi MA RI nomor 547 K/Pid.Sus/2018.
Baca: Jika Beri Amnesti Baiq Nuril, Jokowi Tak Perlu Pertimbangan MA
Nuril kemudian berusaha mendapatkan keadilan dengan mengajukan PK ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019. Sayangnya putusan yang keluar 4 Juli lalu itu kembali menguatkan putusan kasasi.