TEMPO.CO, Mataram - Baiq Nuril Maknun, terlihat tegar. Didampingi tim kuasa hukumnya, perempuan ini bertolak ke Jakarta, untuk mengupayakan jalan terakhir bagi kebebasannya yaitu meminta amnesti dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Baca: Jokowi Persilakan Baiq Nuril Ajukan Amnesti
“Saya ingin ketemu langsung dengan pak Presiden, semoga dia berkenan menerima saya,” kata Nuril, beberapa saat sebelum naik pesawat di Bandara Internasional Lombok pada Senin, 8 Juli 2019.
Kepada Presiden Jokowi, Nuril ingin menumpahkan keluh kesahnya menghadapi perjalanan panjang merebut keadilan atas kasus hukum yang menjeratnya. “Saya hanya ingin menumpahkan keluh kesah saya yang selama ini sudah panjang sekali, saya ingin mencurahkan isi hati seorang anak kepada bapaknya,” kata Nuril.
Semenjak keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak upaya permohonan Peninjauan Kembali (PK), Nuril memilih menenangkan diri di rumah kedua orang tuanya di Desa Punyung, Lombok Tengah.
Tiga orang anak dan kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia adalah hal paling dirisaukan Nuril ketika MA menguatkan hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider kurungan tiga bulan. “Kalau saya sendiri, tidak ada mereka, 10 bulan pun saya siap dipenjara,” ujarnya.
Adalah Rafi, anak bungsu yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar (SD) yang paling jadi keresahan utama. “Dia sempat bertanya, katanya ibu masuk sekolah lagi, kenapa sih harus sekolah lagi,” kata Nuril menuturkan pertanyaan Si bungsu yang masih belum faham apa yang tengah menimpa ibunya.
Baca: Hukuman Penjara Baiq Nuril Dinilai Pukulan Telak bagi Pemerintah
Saat menjalani penahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Mataram, 27 Maret hingga 30 Mei 2017 silam, Nuril dan suamninya, Lalu Isnaini, membohongi Rafi bahwa sang ibu sedang bersekolah. “Saya akhirnya bilang ke dia, sekolah yang dulu belum selesai, sekarang sekolah lagi, tapi tidak lama,” kata Nuril.
Mendapatkan amnesti dari presiden, kini menjadi harapan terakhir Nurul untuk terbebas dari jerat hukum. Langkah itu menurut, Joko Jumadi, pengacara Nuril, adalah upaya penyelamatan terakhir.
“Selain untuk Baiq Nuril, ada kepentingan yang lebih besar yang ingin kita capai dari amnesti ini, yaitu mencegah terjadinya impunitas terhadap pelaku, sekaligus mencegah korban tidak berani melapor karena berkiblat pada kasus Baiq Nuril,” kata Joko.
Seperti diberitakan sebelumnya, perkara UU ITE yang menjerat Nuril bermula ketik aia merekam perbincangan mesum dengan kepala sekolah yang saat itu merupakan atasannya.
Baca: Ketua DPR Minta Jokowi Beri Amnesti Baiq Nuril
Nuril merekam ucapan bosnya lantaran tidak nyaman sekaligus untuk menjadi bukti guna menampik tuduhan bahwa ia memiliki hubungan khusus dengan kepala sekolah tersebut. Rekaman itu kemudian menyebar dan Nuril dilaporkan oleh bekas atasannya dengan tuduhan pelanggaran UU ITE, khususnya Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU ITE.
Hakim Pengadilan Negeri Mataram menyatakan Nuril Bebasa dari semua tuduhan, Penuntut Umum kemudian mengajukan Kasasi ke MA. Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, kemudian membatalkan Putusan PN Mataram dan menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada Baiq Nuril dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan melalui Putusan Kasasi MA RI nomor 547 K/Pid.Sus/2018.
Baca: MA Jelaskan Alasan Tolak Peninjauan Kembali Baiq Nuril
Nuril kemudian berusaha mendapatkan keadilan dengan mengajukan PK ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019 yang putusannya, keluar 4 Juli lalu dan kembali menguatkan putusan kasasi itu. Pada November 2018, Nuril sempat melaporkan Haji Muslim, bekas atasannya, atas dugaan pelecehan seksual secara verbal, akan tetapi karena tak cukup bukti penyidik Polda NTB tidak melanjutkan laporan tersebut.