TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, mengatakan kasus makar yang menjerat aktivis oposisi bernuansa politis.
Ia menilai hukum telah dijadikan sebagai alat kekuasaan.
Baca juga: Alasan Pengacara Praperadilankan Status Tersangka Eggi Sudjana
"Penetapan ini patut disayangkan karena secara jelas-jelas hukum sudah digunakan sebagai alat kekuasaan. Pada beberapa kasus di berbagai negara ini mencirikan sebagai negara yang otoriter," kata Fickar saat dihubungi Tempo, Ahad, 12 Mei 2019.
Ia menjelaskan makar dalam konteks hukum diatur dalam Pasal 104, 106, dan 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang pada intinya diartikan ingin membunuh presiden dan wakil presiden, memisahkan diri sebagian wilayah negara, dan menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.
Fickar berujar dalam konteks negara demokrasi, ketentuan makar tidak lagi relevan lantaran Undang-Undang Dasar 1945 menyediakan mekanisme pemakzulan presiden dan wakil presiden. Penerapan pasal makar itu, kata dia, lebih tepat diterapkan pada perbuatan yang bersifat teror.
Namun, kata dia, aparat kini cenderung menyederhanakan pengertian makar dengan aksi unjuk rasa. "Demikian juga dengan people power, padahal makar itu substansinya teroris," ucapnya.
Baca juga: Eggi Sudjana Tersangka Makar, Wiranto: Melanggar Hukum Ya Dihukum
Sebelumnya, Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan politikus PAN, Eggi Sudjana, sebagai tersangka dugaan makar. Pasalnya Eggi menyerukan gerakan people power. Dalam perkara ini, Eggi dilaporkan oleh Supriyatno, relawan calon presiden inkumben Joko Widodo atau Jokowi.
Fickar menuturkan di dalam politik wacana mengganti pemerintahan atau presiden itu sesuatu yang biasa dan dilakukan 5 tahun sekali lewat pemilihan umum. Sebabnya diskusi tentang penggantian presiden sebelum ada keputusan Komisi Pemilihan Umum tidak dilarang. "Kecuali sudah terbukti ada upaya nyata untuk menjatuhkan presiden berkuasa secara paksa," katanya.