TEMPO.CO, Jakarta - Tokoh masyarakat Dusun Karet, Pleret,Bantul, Yogyakarta Dalyanto menyebut aturan yang berisi penolakan non-muslim di dusun tersebut sebagai kearifan lokal yang disepakati warga setempat.
Baca juga: Kevikepan Yogya: Ada Dua Peristiwa Sebelum Pemotongan Nisan Salib
Dalyanto mengatakan aturan yang dikeluarkan sejak 19 Oktober 2015 itu muncul dari masukan ketua RT, kepala dusun,tokoh masyarakat, dan tokoh agama. "Itu kebijakan wilayah, kearifan lokal. Lihatlah situasi di Aceh," kata dia ditemui di rumahnya di Dusun Karet, Pleret, Bantul, Selasa, 2 April 2019.
Dalyanto merupakan warga Dusun Karet yang ikut terlibat merumuskan aturan itu bersama tokoh masyarakat.
Aturan yang melarang pendatang dari kalangan non-muslim dan aliran kepercayaan dikeluarkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Desa Kelompok Kegiatan Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul. Isinya tentang Persyaratan Pendatang Baru di Pedukuhan Karet. Syaratnya adalah pendatang baru harus beragama Islam sesuai paham penduduk di dusun tersebut.
Penduduk Pedukuhan Karet juga keberatan menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan dan agama non-Islam. Bila pendatang baru tidak memenuhi ketentuan itu,maka ia mendapatkan sanksi berupa teguran lisan, tertulis, dan diusir dari Pedukuhan Karet.
Slamet Jumiarto, pelukis beragama Katolik ditolak masuk Dukuh Karet saat hendak mengontrak rumah di sana.
Warga kampung Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta menolak dengan menggunakan aturan yang dikeluarkan tahun 2015. Aturan itu melarang pendatang dari kalangan non-muslim dan aliran kepercayaan. Aturan dikeluarkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Desa Kelompok Kegiatan Dusun Karet Desa Pleret Kecamatan Pleret Bantul tentang Persyaratan Pendatang Baru di Pedukuhan Karet. Syaratnya adalah pendatang baru harus Islam.
Penduduk Pedukuhan Karet juga keberatan menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan dan agama non-Islam. Bila pendatang baru tidak memenuhi ketentuan itu,maka ia mendapatkan sanksi berupa teguran lisan, tertulis, dan diusir dari Pedukuhan Karet.
Ketua Kelompok Kegiatan Dusun Karet Ahmad Sudarmi menyebutkan aturan yang muncul dari kesepakatan warga, tokoh Agama Islam, dan tokoh masyarakat tersebut mengikat warga Dusun Karet.
Aturan itu bertujuan menjaga keharmonisan warga, menjaga keamanan, dan agar damai. Mayoritas tokoh masyarakat meminta agar siapapun yang mengontrak maupun membeli rumah harus sesuai dengan kesepakatan yang tertulis dalam aturan itu. "Suara mayoritas sesuai aturan itu lalu jadi kesepakatan tertulis," kata dia.
Ahmad menyatakan dirinya tidak tahu bila aturan itu diskriminatif dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Alasannya warga dusun setempat tidak memahami hukum yang berlaku. "Itu kelalaian. Kebodohan kami terutama soal hukum. Bisa jadi pelajaran agar ketika memutuskan sesuatu lebih hati-hati," kata dia.
Menurut dia, dusun tersebut bersedia untuk merevisi aturan yang sudah ada. Kepala Desa Pleret telah mengambil aturan itu dan sekarang sedang dalam proses revisi.
Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan Slamet Jumiarto telah bertemu untuk mediasi selama dua kali di balai desa dan rumah kepala dusun pada Senin, 1 April 2019.
Hasil mediasi menyatakan Slamet boleh mengontrak selama 6 bulan. Solusi itu menurut tokoh masyarakat, Dalyanto merupakan jalan tengah. "Tidak ada kalah dan menang. Ambil jalan tengah," kata dia.
Baca juga: Nisan Jemaat Tak Boleh Pakai Tanda Salib, Gereja Kotagede Pasrah
Tapi, Slamet menolak keputusan itu dan meminta kontrak selama satu tahun. Dia sudah membayar biaya kontrak sebesar Rp 4 juta untuk satu tahun.
Slamet yang sudah tidak nyaman akhirnya meminta agar duit pembayaran kontrak segera dikembalikan agar dia bisa pindah secepatnya.
Perupa asal Semarang ini telah melaporkan perlakuan diskriminatif tersebut kepada orang dekat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan sekretaris Mahfud Md. Ia juga melaporkan larangan itu ke Polda DIY. "Saya berharap aturan yang melanggar Undang-Undang Dasar dan Pancasila itu dicabut. Jangan sampai ada di tempat lainnya," kata dia.
Slamet mengatakan penolakan terjadi pada Sabtu,30 Maret 2019. Ia menemui Ketua RT tersebut dan menyerahkan surat-surat administrasi sebagai pendatang. Kepada ketua RT dusun setempat ia menyebutkan dirinya beragama Katolik dan isterinya, Priyati beragama Kristen.
Ketua RT dusun tersebut lalu menemui tokoh masyarakat, Dalyanto. Setelah berunding, kepada Slamet, ketua RT menyatakan non-muslim tidak boleh masuk kampung. "Mereka menyatakan ada kesepakatan tertulis bahwa non-muslim tidak boleh tinggal di Dusun Karet," kata dia.