TEMPO.CO, Jakarta-Pembubaran secara sepihak pihak Universitas Sumatera Utara terhadap pers mahasiswa Suara USU mendapat banyak sorotan. Alasan konten cerpen yang dimuat berbau pornografi dan mempromosikan LGBT pun dipertanyakan.
Ketua Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) Agung Sedayu menduga ada alasan lain yang mendasari rektorat USU membubarkan pengurus Suara USU. "Pemaknaan bahwa itu mengkampanyekan di kalangan LGBT saja masih dipertanyakan. Bahkan saya tidak menemukan konten pornografi di situ," kata Agung Sedayu dalam diskusi di Jakarta Pusat, Ahad, 31 Maret 2019.
Baca: Buntut Cerpen Berbau LGBT, Rektorat Bubarkan Redaksi Suara USU
Agung menuturkan dari hasil riset FAA PPMI, rektorat USU memang berkali-kali memiliki masalah dengan pers kampusnya. Di 2017 saja, kata dia, mereka memprotes berita pemukulan satpam kampus terhadap mahasiswa yang dibuat Suara USU.
Tahun lalu, protes kembali dilayangkan pascapemberitaan terkait proses akreditasi kampus. "Yang dipersoalkan ini produk jurnalistik. Jadi bisa jadi ada upaya diredam, kampus tak mau dikritik," kata dia.
Jika benar, Agung menyayangkan sikap birokrasi yang menyepelekan peran pers kampus sebagai anjing penjaga. Meski hanya ada di ruang lingkup univeristas, Agung menegaskan pers kampus juga menjalankan serangkaian proses jurnalistik. "Sebagai besar banyak yang berpikir bahwa pers mahasiswa itu humasnya kampus. Hanya memberirakan advetorial kampus saja, berita-berita positif, bukan kritik. Ini kesalahan berpikir dari sana," kata Agung.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Revolusi Riza mengamini pendapat Agung. Bahkan saat ini AJI telah menerima keanggotaan yang berasal dari pers mahasiswa. Hal ini menurut dia, disepakati dalam kongres AJI di Solo sekitar 1,5 tahun lalu.
"Kenapa kami terima, alasan yang mengemuka, banyak kasus pembungkaman pers mahasiswa. Ada di Yogya, Salatiga, dan beberpa daerah lain. Siapa yang bela kalau mereka tak diakui keberadaanya? Padahal mereka juga melakukan proses jurnalistik," kata Revolusi.
Serangan terhadap pers mahasiswa terjadi berkali-kali. Dari temuan FAA PPMI, sejak 2013 hingga 2016 saja terjadi 133 kasus. Dari seratus lebih kasus itu 65 kekerasan itu di antaranya dilakukan birokrasi kampus.
Namun kekerasan ini dinilai sulit menemukan jalan keluar. Pasalnya, meski menjalankan proses jurnalistik, pers mahasiswa tak memiliki badan hukum sendiri. Sedangkan di Dewan Pers, lembaga pers harus perseroan terbatas.
Divisi Advokasi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH Pers) Gading Yonggar Ditya mengatakan hal ini yang kerap menjadi batu sandungan bagi bantuan hukum untuk pers mahasiswa. "Itu repotnya. Kalau pakai pendekatan normatif, itu sangat berat. Dilemanya di situ," kata Gading.
Suara USU mendapat banyak sorotan setelah menerbitkan cerita pendek berjudul Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku Didekatnya. Cerpen yang diterbitkan di website resmi mereka, suarausu.co, dinilai pihak kampus menyinggung pornografi, khususnya Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Simak: AJI Medan Tolak Penutupan Situs Suara USU yang Angkat Cerpen ...
Rektorat Universitas Sumatera Utara (USU) pun kemudian mengambil sikap dengan memberhentikan redaksi media online di bawah Suara USU tersebut. Dalam keterangan tertulis di web mereka, redaksi Suara USU membantah tudingan itu.
Mereka mengatakan penerbitan itu tidak dimaksudkan untuk mengkampanyekan salah satu orientasi seksual manapun. Konteks tulisan tidak merujuk pada pengkampanyean melainkan bercerita tentang bagaimana kaum minoritas didiskriminasi. "Cerpen ini merupakan suatu bentuk framing realitas sosial yang dibungkus dalam karya sastra," tulis mereka.
EGI ADYATAMA | IIL ASKAR MONZA