TEMPO.CO, Jakarta - Penasehat hukum calon presiden nomor urut 01, Yusril Ihza Mahendra, menceritakan upaya merayu terpidana terorisme Abu Bakar Baasyir untuk menandatangani surat ikrar setia pada Pancasila dan NKRI.
Baca: Moeldoko: Abu Bakar Baasyir Masih Punya Pengaruh
Yusril mengatakan pembicaraan tersebut terjadi saat dia mengunjungi Abu Bakar Baasyir di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor. "Saat itu saya kembali menjelaskan kepada ustadz untuk menandatangani surat taat Pancasila," kata Yusril saat ditemui di Jakarta Selatan, Sabtu 19 Januari 2019.
Ia menuturkan Abu Bakar Baasyir tetap keukeuh dengan pendiriannya untuk tidak taat dengan segala hal selain ajaran Islam. Padahal, Yusril mengatakan telah menjelaskan kepada Abu Bakar Baasyir bahwa nilai Pancasila juga sejalan dengan ajaran Agama Islam.
"Ustadz saat itu langsung menjawab kalau begitu kenapa tidak langsung Islam saja," ujarnya.
Selain itu lanjut Yusril, hingga saat ini Abu Bakar Baasyir juga masih teguh dengan pandangan bahwa sistem demokrasi sesuatu yang syirik. Padahal, kata Yusril, menandatangani ikrar setia Pancasila tersebut merupakan salah satu syarat bagi Abu Bakar Baasyir untuk bisa mendapatkan bebas bersyarat.
Namun kata Yusril, Abu Bakar Baasyir lebih memilih mendekam di penjara dari pada menandatangani ikrar setia Pancasila. Yusril mengaku saat itu tidak mau berdebat lebih lanjut dengan Abu Bakar Baasyir terkait Pancasila.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Tim Pengacara Muslim atau TPM selaku kuasa terpidana terorisme Abu Bakar Baasyir Mahendradatta. "Abu Bakar Baasyir sejak awal memang menolak untuk menandatangani syarat tersebut," ujarnya
Padahal kata Mahendradatta, Abu Bakar Baasyir telah berhak mengajukan bebas bersyarat pada Desember lalu setelah menjalani dua pertiga masa hukuman.
Simak juga: Tim Pengacara Muslim: Abu Bakar Baasyir Anggap Demokrasi Syirik
Abu Bakar Baasyir divonis 15 tahun setelah pimpinan dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah itu, terbukti secara sah dan meyakinkan menggerakkan orang lain dalam penggunaan dana untuk melakukan tindak pidana terorisme.