TEMPO.CO, Jakarta - Sepanjang 2018, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluarkan sejumlah kebijakan. Beberapa kebijakan Jokowi – JK menuai kontroversi, bahkan sebagian ada yang dibatalkan. Berikut kebijakan yang menuai kontroversi.
1. Gaji Pejabat BPIP
Pada 23 Mei 2018, Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Besaran hak keuangan ini menjadi polemik, lantaran jumlahnya yang dianggap fantastis.
Baca: Jokowi: Gaji Pejabat BPIP Sudah Dikalkulasi Kementerian Keuangan
Ketua Dewan Pengarah BPIP misalnya, menerima hak keuangan sebesar Rp 112.548.000. Sementara Kepala BPIP menerima Rp 76.500.000. Jumlahnya melebihi gaji presiden dan wakil presiden yang masing-masing menerima Rp 62.740.030 dan Rp 42.160.000.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengusulkan Perpres tersebut dicabut atau direvisi. "Perpres itu sudah melukai perasaan masyarakat yang kini sedang dihimpit kesulitan," katanya melalui keterangan tertulis, Senin, 28 Mei 2018.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, hak keuangan pejabat BPIP bukan murni gaji melainkan gabungan dengan tunjangan operasional. Gaji pokok pejabat BPIP, menurut dia, sama dengan para pejabat negara lainnya yaitu sebesar Rp 5 juta. Mereka mendapat Rp 13 juta untuk tunjangan jabatan, yang jumlahnya lebih kecil dari lembaga lain.
Sisa hak keuangan BPIP diberikan untuk operasional seperti biaya transportasi, komunikasi, dan pertemuan. Sementara sebagian lainnya untuk asuransi kesehatan dan jiwa yang masing-masing sebesar Rp 5 juta.
2. Pembatalan Kenaikan Harga Premium
Pada 10 Oktober 2018 sekitar pukul 17.00 WIB, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignatius Jonan mengumumkan harga bahan bakar bersubsidi (BBM) bersubsidi jenis premium akan naik. Dia mengatakan, perubahan harga efektif mulai pukul 18.00 WIB di hari yang sama.
Baca: Premium Batal Naik, Ini Tiga Hal yang Menjadi Pertimbangan Jokowi
Jonan menyebut harga premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) akan dipatok senilai Rp 7 ribu per liter. Sementara di luar wilayah itu harganya akan naik menjadi Rp 6.900 per liter. Saat itu harga premium di Jamali dan non-Jamali masing-masing Rp 6.550 dan Rp 6.450 per liter. Harganya tak pernah berubah sejak April 2016.
Namun sekitar setengah jam setelahnya, pemerintah menyatakan menunda kenaikan harga premium. "Sesuai arahan Bapak Presiden, rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7 ribu dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, scepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina (Persero)," kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi, Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Erani Yustika, mengatakan keputusan pembatalan kenaikan harga premium diambil Jokowi dengan mempertimbangkan aspirasi publik. "Presiden selalu menghendaki adanya kecermatan di dalam mengambil keputusan, termasuk juga menyerap aspirasi publik," katanya melalui pesan singkat, Rabu malam, 10 Oktober 2018.
Tiga hari kemudian, Jokowi menyatakan harga premium batal naik. Dia mengatakan kenaikan harga premium tak terlalu berdampak signifikan terhadap Pertamina. "Dihitung lagi keuntungan tambahan dari Pertamina, tidak signifikan. Sudah saya putusin premium batal (naik)," ujarnya di Istana Bogor, Sabtu, 13 Oktober 2018. Dia menuturkan, tak ada rencana kenaikan harga premium dalam waktu dekat.
3. Melantik Andika Perkasa sebagai KSAD