TEMPO.CO, Jakarta - Sepanjang 2018 Joko Widodo atau Jokowi membuat beberapa keputusan penting baik sebagai presiden maupun politikus.
Baca juga: Kaleidoskop 2018: 10 Tokoh yang Menyita Perhatian di Tanah Air
Berikut 10 keputusan penting Jokowi selama 2018 yang Tempo himpun:
1. Pilih Ma'ruf Amin sebagai Calon Wakil Presiden
Jokowi membuat keputusan yang cukup mengagetkan yaitu memilih Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden di Pemilihan Presiden 2019. Sebelumnya santer terdengar yang akan dipilih Jokowi adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Namun keputusan itu berubah setelah Jokowi bertemu dengan sembilan ketua umum partai pendukungnya di Restoran Plataran Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis, 9 Agustus 2018.
"Dengan perenungan yang mendalam dan masukan saran dari seluruh elemen masyarakat, saya memutuskan dan telah mendapatkan keputusan dari koalisi Indonesia kerja yang akan mendampingi saya sebagai calon wakil presiden adalah Prof Dr KH Ma'ruf Amin," ujar Jokowi
Selepas Jokowi mengumumkan Ma'ruf sebagai calon wakil presiden, Mahfud MD mengaku ia sudah diminta mengukur baju untuk dipakai saat diperkenalkan ke publik.
"Saya nggak kecewa, hanya kaget. Enggak sakit hati. Karena keperluan negara lebih penting timbang sekedar nama Mahfud MD atau Ma'ruf Amin," kata dia saat itu.
2. Erick Thohir Dipilih Jadi Ketua Tim Sukses
Bakal calon presiden Joko Widodo (kedua kanan) berjabat tangan dengan bakal calon wakil presiden Ma'ruf Amin (kanan), Wakil Presiden Jusuf Kalla (kedua kiri), dan pengusaha Erick Thohir setelah memberikan keterangan terkait dengan formasi tim sukses kampanye nasional pilpres 2019 di Jakarta, Jumat, 7 September 2018. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Keputusan penting Jokowi lainnya menjelang Pilpres 2019 adalah memilih Ketua Penyelenggara Asian Games 2018 Erick Thohir menjadi ketua tim kampanye nasional pada 7 September 2018.
Pemilihan Erick Thohir juga cukup mengejutkan. Selama ini bos Mahaka Group itu jauh dari ingar bingar politik. Ia juga dikenal dekat dengan calon wakil presiden dari Prabowo yaitu Sandiaga Uno yang merupakan rival Jokowi.
Namun Erick Thohir dekat dengan Jokowi sejak menjadi ketua penyelenggara Asian Games 2018. Erick dinilai sukses besar menyelenggarakan perhelatan olahraga negara-negara Asia tersebut.
3. Reshuffle Kabinet
Di awal 2018 Presiden Jokowi membuat keputusan merombak kabinetnya. Pada 17 Januari 2018 ia mencopot Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki dan menggantinya dengan mantan panglima TNI Moeldoko. Teten menduduki posisi baru sebagai koordinator staf khusus Jokowi.
Secara bersamaan ia menunjuk Idrus Marham sebagai menteri sosial menggantikan Khofifah Indar Parawansa yang mundur karena mengikuti pemilihan gubernur Jawa Timur.
Jokowi melantik pula Agum Gumelar sebagai anggota dewan pertimbangan presiden menggantikan Hasyim Muzadi yang meninggal dunia.
Perombakan kabinet juga Jokowi lakukan setelah Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan tidak akan mendukungnya di pemilihan presiden 2019. Politikus PAN, Asman Abnur, mengundurkan diri sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sebagai penggantinya, pada 15 Agustus 2018, Jokowi melantik Wakil Kapolri saat itu, Komisaris Jenderal Syafruddin.
Pada 28 Agustus 2018, Jokowi kembali mengganti menteri sosial. Agus Gumiwang Kartasasmita ia lantik untuk menggantikan Idrus Marham yang menjadi tersangka korupsi.
Sepanjang 2018 Jokowi juga memilih sejumlah tokoh untuk memimpin lembaga negara. Pada 3 Januari 2018 ia melantik Djoko Setiadi sebagai Kepala Badan Sandi Siber Negara.
Mantan gubernur DKI Jakarta ini juga melantik Inspektur Jenderal Heru Winarko sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional pada 1 Maret 2018, menunjuk Mayor Jenderal Doni Monardo sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pertahanan Nasional pada 14 Maret 2018, dan memilih Mayor Jenderal Andika Perkasa sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 22 November 2018.
4. Tidak Menandatangani Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Revisi UU MD3 yang berjalan di DPR menuai kritik dari banyak kalangan. Pasalnya UU tersebut dianggap membuat DPR makin kebal hukum
Sebelumnya, rapat paripurna DPR pada 12 Februari 2018 telah mengesahkan revisi UU MD3 menjadi undang-undang. Berdasarkan peraturan dan perundang-undangan, Presiden memiliki waktu 30 hari untuk menandatangani lembar pengesahan atau tidak Undang-undang yang telah disahkan DPR. Namun hingga batas waktu tiba, Jokowi tak kunjung membubuhkan tanda tangannya.
"Saya sampaikan saya tidak menandatangani UU tersebut. Saya sadar, saya ngerti, saya tahu bahwa sesuai ketentuan UU itu tetap akan berlaku walaupun tidak ada tanda tangan saya," kata Jokowi di Alun-Alun Barat, Kota Serang, Banten, Rabu, 14 Maret 2018.
Sejumlah pasal dalam UU MD3 menuai kontroversi lantaran mengatur tentang imunitas DPR dan membuatnya terkesan super power. Salah satu pasal kontroversial di dalam UU MD3 adalah Pasal 122 huruf (k) yang berisi tambahan tugas kepada Mahkamah Kehormatan Dewan untuk mengambil langkah hukum terhadap perorangan, kelompok, atau badan hukum yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
Selain itu, ada Pasal 73 yang tak hanya merinci tata cara permintaan DPR kepada polisi untuk memanggil paksa, bahkan dapat dengan penyanderaan, setiap orang yang menolak hadir memenuhi panggilan Dewan. Naskah terakhir pasal tersebut juga menyatakan Kepolisian RI wajib memenuhi permintaan DPR.
Meski UU tersebut dibahas bersama antara DPR dan pemerintah, Jokowi membantah jika ia kecolongan. Ia beralasan situasi pembahasan UU MD3 di DPR sangat cepat dan banyak pasal yang diubah. Sebabnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly tidak memiliki kesempatan untuk melaporkannya.
5. Terbitkan Peraturan Pemerintah tentang Imbalan untuk Pelapor Korupsi
Jokowi meneken Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 17 September 2018. Aturan ini menyebut pemerintah bakal memberi hadiah bagi masyarakat yang melaporkan adanya kasus korupsi maksimal Rp 200 juta.
PP ini menjelaskan masyarakat yang mempunyai informasi mengenai adanya
dugaan tindak pidana korupsi bisa menyerahkannya ke pejabat yang berwenang pada badan publik atau penegak hukum secara lisan atau tertulis disertai dokumen pendukung.