TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI mencatat sejumlah pelanggaran hak anak di bidang pendidikan tahun 2018. Pelanggaran tersebut didominasi oleh kekerasan di lingkungan sekolah.
Baca: KPAI Usulkan Kurikulum Khusus di Sekolah Darurat Bencana
Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan terdapat 445 kasus bidang pendidikan yang ditangani sepanjang 2018. "Sebanyak 228 kasus atau 51,20 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan baik fisik, seksual, dan verbal," katanya di kantor KPAI, Jakarta, Kamis, 27 Desember 2018.
Retno mengatakan, kekerasan fisik yang dialami anak di sekolah kebanyakan dilakukan oleh pendidik. Tindakannya beragam mulai dari menampar, menjemur, menjilat WC, push up, sit up, hingga diminta merokok dan direkam dengan video.
Kekerasan seksual juga banyak terjadi di sekolah dan dilakukan pendidik, terutama di sekolah dasar dan menengah pertama. Korbannya tidak hanya murid perempuan tapi juga laki-laki. "Bahkan tren di 2018 justru murid laki-laki lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual," ujar Retno. Dari total 177 orang, sebanya 135 orang di antaranya merupakan anak laki-laki.
KPAI juga mencatat terdapat 144 kasus tawuran pelajar sepanjang 2018. Retno mengatakan, kasus tahun ini cukup mengenaskan. Pasalnya, pelaku tawuran menyiram korban dengan air sehingga meninggal dunia.
Baca: KPAI Mengapresiasi Polda Jawa Barat Menahan Bahar bin Smith
Lembaga tersebut juga mencatat pelanggaran hak anak karena menjadi korban kebijakan. Tahun ini ada 73 kasus yang ditangani KPAI. Jumlahnya meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 52 kasus.
Dalam kasus tersebut, anak paling banyak menjadi korban kebijakan pemerintah provinsi dan kota serta kabupaten. Modusnya, anak dikeluarkan saat menjadi pelaku kekerasan, termasuk tawuran antar pelajar. "Kebijakan tersebut mengakibatkan anak tersebut kehilangan hak atas pendidikan di sekolah, namun juga tidak pernah menghentikan tawuran itu sendiri," ujarnya.
Korban kebijakan lainnya berasal dari sistem zonasi penerimaan peserta didik baru 2018. Retno menuturkan, sistem tersebut bertujuan baik untuk pemerataan kualitas dan akses pendidikan di sekolah negeri. Namun kebijakan itu menyebabkan banyak anak kehilangan akses ke sekolah negeri karena pembagian zonasi tidak mempertimbangkan jumlah sekolah negeri dan calon peserta didik yang mendaftar. KPAI menyarankan dinas pendidikan di daerah membagi zonasi dengan cermat.
Retno juga menyebut kebijakan pemerintah daerah menolak anak penyandang HIV masuk sekolah reguler merugikan. Kebijakan itu tidak mempertimbangkan situasi anak dan bukan untuk kepentingan terbaik bagi anak-anak penderita HIV.
Kebijakan pemerintah soal sekolah darurat di daerah bencana juga melanggar hak anak. KPAI mendorong peningkatan layanan sekolah darurat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga diminta menyiapkan kurikulum khusus di sekolah tersebut karena situasi yang dihadapi tak biasa.