TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI menyarankan pemerintah menyiapkan kurikulum khusus di sekolah darurat di daerah-daerah terdampak bencana. Sebabnya, situasi yang dihadapi siswa di sana berbeda dengan siswa pada umumnya.
Baca: Situasi Terkini Gunung Anak Krakatau, Terdengar Suara Dentuman
Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan sangat tidak adil jika sekolah darurat harus menerapkan kurikulum nasional yang saat ini berlaku. "Sistem penilaian dan prinsip keadilan bagi semua anak didik tidak mungkin disamakan antara siswa di sekolah darurat karena wilayahnya terdampak bencana," katanya di Kantor KPAI, Jakarta, Kamis, 27 Desember 2018.
Retno menuturkan, proses belajar di sekolah darurat sangat terbatas. Siswa tidak bisa belajar seperti biasa lantaran ruang kelas harus digunakan bergantian dengan siswa kelas lain.
Sarana prasarana sekolah juga sangat minim. Berdasarkan pantauan Anggota KPAI Susianah Affandy di Palu, Donggala, dan Sigi serta Lombok, misalnya, distribusi prasarana sekolah darurat tidak merata. "Hanya sekolah di bawah Kemendikbud yang dapat distribusi sekolah darurat. Sementara sekolah agama di bawah Kementerian Agama tidak," ujarnya.
Baca: BMKG: Erupsi Gunung Anak Krakatau Membahayakan Penerbangan
Susianah mengatakan hal ini terjadi lantaran Unicef, badan PBB yang mengurusi pengungsi, sebagai pemberi bantuan bekerja sama dengan Kemendikbud, bukan Kementerian Agama. Dia menyebut masih ada dikotomi dalam cara pandang Kemendikbud.
Retno mengatakan, kurikulum khusus juga diperlukan karena kondisi psikologis dan siswa belum stabil. Mereka mengalami trauma lantaran menghadapi bencana. Di Palu misalnya, sudah sebulan tak ada guru yang mengajar.
Menurut Retno, KPAI akan memprioritaskan program kurikulum khusus di sekolah darurat tahun depan. Pihaknya akan berbicara dengan Kemendikbud usai banyaknya bencana yang terjadi.