TEMPO.CO, Jakarta – Rancangan Undang-undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan atau RUU Pesantren menuai polemik panjang setelah disahkan menjadi legislasi prioritas Dewan Perwakilan Rakyat. Sejumlah lembaga keagamaan, seperti Persatuan Gereja-gereja Indonesia, sebelumnya menolak beberapa pasal dalam naskah usulan DPR karena berpotensi bias terhadap pendidikan agama Kristen dan Katolik.
Anggota Komisi Agama DPR, Diah Pitaloka, mengatakan pembahasan RUU ini masih dalam tahap harmonisasi di internal Dewan. Dalam pembahasan ke depan, ia meminta organisasi keagamaan lain memberi masukan mengenai pasal-pasal yang harus diatur dalam beleid ini.
Baca: Menteri Agama Undang Pihak Terkait RUU Pesantren Akhir November
“Agar dapat mengakomodasi berbagai jenis pendidikan agama, maka kami ingin mendengar semua masukan,” kata Diah di Komplek Parlemen Senayan, Senin, 26 November 2018.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini mengatakan telah mengunjungi sejumlah organisasi keagamaan di daerah pemilihannya, yaitu di Bogor dan sekitarnya. Dari kunjungan itu, selain meminta masukan mengenai RUU ini, ia meminta organisasi keagamaan mengambil sikap.
Diah juga mengusulkan RUU ini dipisah menjadi dua bagian, yakni hanya mengatur pesantren dan mengatur pendidikan keagamaan lain. “Apakah menurut mereka sebaiknya RUU ini juga mengatur pendidikan keagamaan Katolik, Hindu, Buddha, dan yang lain. Atau sebenarnya RUU ini cukup hanya mengatur pesantren saja? Nah, kami menunggu masukan-masukan itu,” ujarnya.
Baca: Polemik Mengenai RUU Pesantren, PPP Punya Cerita
RUU Pesantren dan Pendidikan Agama masuk daftar panjang rancangan legislasi 2014-2019 usulan DPR. Beleid ini awalnya adalah inisiasi Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan yang memiliki basis pemilih di pesantren-pesantren. Belakangan, PDI Perjuangan mengusulkan agar pendidikan agama lain seperti sekolah minggu dan katekisasi juga diatur. Semua anggota Badan Legislasi sepakat sehingga draf awal usulan DPR dimunculkan ke publik sejak September.
Penolakan kemudian mucul dari PGI, Konferensi Waligereja Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injil Indonesia. Draf usulan DPR dianggap tak sesuai dengan ruh pendidikan agama Kristen dan Katolik.
Baca: Ketua ICMI: Pembahasan RUU Pesantren Harus Libatkan Semua Pihak
PGI mengkritik dua poin dalam rancangan itu. Pertama, pembatasan pendidikan Kristen non formal harus diikuti sedikitnya 15 peserta. Selain itu, gereja harus memiliki izin dari Kementerian Agama untuk menyelenggarakan pendidikan seperti Sekolah Minggu. “Sejatinya, pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan ijin karena merupakan bentuk peribadahan,” ujar PGI dalam keterangan resminya.
Saat ini, RUU Pesantren berstatus legislasi prioritas pembahasan 2019. Komisi Sosial dan Badan Legislasi DPR masih menunggu surat presiden Joko Widodo yang menugaskan kementerian tertentu untuk membahas legislasi ini bersama Dewan.