TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf didakwa menerima gratifikasi oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Irwandi terlibat dalam perkara dugaan suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018.
Baca: Bupati Penyuap Irwandi Yusuf Dituntut Empat Tahun Penjara
"Terdakwa telah menerima gratifikasi sebesar Rp 8,717 miliar yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya selaku Gubernur Aceh," ucap salah seorang jaksa, Hendra Eka Saputra, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, pada Senin, 26 November 2018.
Menurut jaksa, sejak Mei 2017 hingga Juli 2018, Irwandi terbukti menerima gratifikasi berupa uang secara bertahap. Pada November 2017 sampai Mei 2018, Irwandi menerima menerima uang melalui rekening atas nama Muklis di tabungan Bank Mandiri dengan nilai sebesar Rp 4,420 miliar.
Uang itu bersumber dari Muklis. "Caranya dengan menyerahkan kartu ATM beserta nomor pin kepada Irwandi di rumah pribadinya di Jalan Salam, Kota Banda Aceh," ucap jaksa Hendra.
Kemudian, mulai Oktober 2017 hingga akhir Januari 2018, Irwandi kembali menerima uang melalui Fenny Steffy Burase dengan total nilai Rp 568 juta. Uang itu didapat dari Teuku Fadhilatul Amri setelah mendapat perintah untuk melakukan transfer dari Teiku Saiful Bahri.
Baca: Gubernur Aceh Nonaktif Irwandi Yusuf Akan Segera Jalani Sidang
Menyusul kemudian, pada April-Juni 2018, Irwandi menerima Rp 3,728 miliar dari pihak-pihak tim suksesnya yang akan mengikuti paket pekerjaan pengadaan barang dan jasa di lingkup Pemerintah Provinsi Aceh. Uang itu diterima Erdiansyah.
"Bahwa sejak menerima uang senilai Rp 8,717 miliar, Irwandi tak pernah melaporkannya kepada KPK sampai dengan batas waktu 30 hari terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima," kata Hendra.
Penerimaan itu, kata dia, tidak ada alasan hak yang sah menurut hukum. Atas perbuatannya, Irwandi dikenakan Pasal 12 B Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat 1 KUHPidana.