TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendesak Presiden Joko Widodo alias Jokowi memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun, mantan pegawai di SMAN 7 Mataram yang diputus bersalah atas kasus penyebaran percakapan asusila Kepala Sekolah tersebut. Direktur Eksekutif ICJR Anggara mengatakan Jokowi harus memberikan amnesti sebab Baiq Nuril tak bisa mendapat grasi.
Baca juga: Kasus Baiq Nuril, Jokowi: Saya Tak Bisa Intervensi Putusan MA
"Amnesti adalah satu-satunya jalan bagi Ibu Baiq Nuril untuk memperoleh keadilan atas pidana yang timbul dari perbuatan yang bahkan tidak dilakukannya, tanpa harus menunggu dalam waktu yang sangat lama dan dalam kondisi yang tidak pasti," ujar Anggara dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa, 20 November 2018.
Anggara menilai Jokowi tak bisa memberikan Baiq Nuril grasi karena guru tersebut hanya dijatuhi pidana kurang dari dua tahun penjara. Menurut Anggara, grasi hanya bisa diberikan kepada seseorang yang dijatuhi pidana lebih dari dua tahun. "Sedangkan Ibu Baiq Nuril dipidana dengan hukuman 6 bulan penjara," katanya.
Menurut Anggara, pemberian grasi kepada seorang yang dijatuhi pidana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Pada pasal 2 ayat 2, UU itu menyebutkan grasi hanya dapat dilakukan terhadap putusan pemidanaan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, penjara paling rendah dua tahun.
"Itu mengapa Presiden harus memberikan amnesti pada Ibu Nuril. Amnesti merupakan hak dari presiden yang diberikan berdasarkan pasal 14 ayat 2 UUD Tahun 1945," ucapnya.
Anggara menilai pemberian amnesti segera oleh Jokowi ini dapat melepaskan Baiq Nuril dan keluarga dari tekanan psikologis. Sebab, kata dia, proses peninjauan kembali di Mahkamah Agung butuh waktu yang cukup lama dan dapat membuat Baiq Nuril dan keluarga semakin tertekan psikologisnya.
"Presiden Jokowi dapat segera memberikan amnesti, agar Ibu Baiq Nuril tidak perlu berada dalam kondisi ketidakpastian selama menunggu proses peninjauan kembali," tuturnya.
Kasus ini bermula saat Baiq Nuril kerap mendapatkan perlakuan pelecehan dari kepala sekolah SMAN 7 Mataram, M. Sang kepala sekolah sering menghubunginya dan meminta Nuril mendengarkan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang bukan istrinya sendiri.
Baca juga: Baiq Nuril Ucapkan Terima Kasih ke Presiden Jokowi
Baiq Nuril yang merasa tidak nyaman merekam diam-diam pembicaraan tersebut. Atas dasar ini kemudian M melaporkannya ke polisi. Kasus kemudian berlanjut di Pengadilan Negeri Mataram, namun Nuril dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan sebagai tahanan kota.
Jaksa lalu mengajukan banding hingga kasasi ke MA. Dalam putusan kasasinya, MA memvonis Nuril enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta rupiah lantaran dianggap melanggar Pasal 27 ayat 1 UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena menyebarkan percakapan asusila kepala sekolah SMA Negeri 7 Mataram.
Adapun, Baiq Nuril mengajukan PK ke Mahkamah Agung terkait putusan itu. Kejaksaan Agung juga menunda proses eksekusi kepada Baiq Nuril hingga PK atas kasus pegawai negeri itu keluar di MA.