TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak pengajuan justice collaborator (JC) keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo dalam perkara korupsi proyek e-KTP. Jaksa menilai Irvanto belum layak menyandang status pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam sebuah perkara.
Baca: Keponakan Setya Novanto Dituntut 12 Tahun Penjara di Kasus E-KTP
"Dari hasil penilaian dan hal yang terjadi di persidangan, jaksa berpendapat terdakwa satu Irvanto Hendra Pambudi tidak memenuhi kualifikasi sebagai juctice collaborator," ujar jaksa Ni Nengah Gina Saraswati membacakan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa, 6 November 2018.
Jaksa menolak permohonan JC Irvanto dengan menimbang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jaksa juga memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan whistleblower dan justice collaborator dalam perkara pidana tertentu.
Sesuai aturan kedua, pemohon JC harus pelaku tindak pidana yang mengakui perbuatan dan memberikan keterangan signifikan mengungkap pelaku lain yang lebih besar. Status JC tidak boleh disematkan kepada pelaku utama tindak pidana.
Baca: Keponakan Setya Novanto Bantah Ada Kode Miras dalam Korupsi E-KTP
Dalam perkara ini, KPK menuntut Irvanto dihukum 12 tahun penjara dan denda 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Menurut jaksa, Irvanto terbukti mengintervensi proses lelang proyek e-KTP dengan memenangkan perusahaan tertentu. Intervensi itu diatur dalam pertemuan antara Tim Fatmawati yang membahas pemenangan terhadap salah satu perusahaan yang berhubungan dengan pengusaha Andi Agustinus Narogong.
Pertemuan itu juga menghasilkan Standard Operating Procedure (SOP) untuk penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). HPS tersebut disusun dan ditetapkan tanpa melalui survei berdasarkan data harga pasar sehingga terdapat mark up atau kemahalan harga.
Selain itu, jaksa mengatakan Irvanto juga beberapa kali menerima uang dari Johannes Marliem selaku penyedia produk biometrik merek L-1 untuk Setya Novanto. Seluruh uang berjumlah USD 3,5 juta. Jaksa menyatakan uang tersebut merupakan fee sebesar 5 persen untuk mempermudah pengurusan anggaran e-KTP. Menurut jaksa, selain memperkaya Setya Novanto, perbuatan Irvanto telah memperkaya sejumlah orang dan korporasi, serta merugikan negara Rp 2,3 triliun.
Baca: Bantah Keterangan Saksi, Hakim Tegur Keponakan Setya Novanto
Dalam pertimbangan tuntuan, jaksa menganggap perbuatan Irvanto tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi. Jaksa menganggap perbuatannya juga berdampak masif karena menyangkut pengelolaan data kependudukan nasional dan dampaknya masih dirasakan sampai sekarang. Selain itu, jaksa menganggap Irvanto berbelit-belit dalam menyampaikan keterangan. Sementara hal yang meringankan, Irvanto belum pernah dihukum dan menyesali perbuatannya.