TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat dalam peringatan 20 tahun berkiprah melindungi hak- kaum hawa di Indonesia, perundungan terhadap aktivis perempuan masih terjadi. Para aktivis acap menghadapi kerentanan berlapis.
"Perempuan pembela HAM rentan terhadap identitasnya sebagai aktivis, juga rawan karena gendernya," kata Ketua Komnas Perempuan Azriana kepada Tempo saat ditemui seusai acara Refleksi 2 Dasawarsa Upaya Penghapusan dan Diskriminasi terhadap Perempuan di Hotel Sari Pasific, Jakarta, Rabu, 31 Oktober 2018.
Baca: 5 Aktivis Perempuan Arab Saudi Terancam Dipenggal Kepala
Azriana mencontohkan kasus yang mendera aktivis Eva Bande. Ia dibui lantaran membela hak petani di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Toili Barat, Banggai, Sulawesi Tengah,. Sel prodeo mengungkungnya pada Mei 2014 setelah ia ditangkap dan ditahan pada Mei 2010 dengan tuduhan menghasut. Ia divonis 4 tahun pejara kala itu. Masa hukuman ini lebih tinggi dari tuntutan jaksa yang menyebut ia harus mendekam selama 3 tahun 6 bulan.
Azriana mengatakan perlindungan negara terhadap aktivis pembela HAM seperti Eva kurang. Apalagi, negara acap memandang sosok aktivis sebagai orang yang membangkang dan doyan memprovokasi massa. Tak jarang perempuan aktivis harus berhadapan dengan hukum.
Pandangan-pandangan tersebut juga kerap muncul dari masyarakat. Beberapa kali, aktivis perempuan menerima ancaman. Azriana menyayangkan perundungan aktivis perempuan ini terjadi.
Baca: Koalisi Perempuan: Visi Misi Capres Belum Berpihak ke Kaum Rentan
Bahkan, tak hanya di kota, tindakan merisak pembela masyarakat itu juga kerap terjadi di pelosok-pelosok. "Dalam 4 undang-undang perempuan, tidak satu pun mengatur perlindungan aktivis HAM yang seharusnua mereka terima," kata Azrina.
Ia berharap negara menjangkau peran aktivis dan tidak lagi dianggap seseorang yang membangkang. "Bagaimana pun juga aktivis adalah mitra," ujarnya.