TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mendesak pemerintah melakukan moratorium hukuman mati. Ini disuarakan dalam memperingati Hari Anti Hukuman Mati yang jatuh pada hari ini, Rabu 10 Oktober 2018.
Baca: Jaksa Agung: Hukuman Mati Bukan Sesuatu yang Menyenangkan, Tapi..
“Komnas HAM mengingatkan kembali untuk bersungguh-sungguh dalam melakukan segala upaya penghormatan dan perlindungan hak hidup. Beberapa yang perlu dilakukan adalah melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati,” ujar Komisioner Komnas HAM, Mochamad Choirul Anam, lewat keterangannya pada Selasa malam, 9 Oktober 2018.
Menurut Anam, Komnas HAM ingin menegaskan kembali hukuman mati tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Untuk itu, ujar Anam, lembaganya mendukung Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 111 (draft Juli 2018) yang pada pokoknya memberikan peluang tidak melaksanakan hukuman mati dan diberikan kesempatan untuk hukuman seumur hidup. “Titik pijak ini perlu dikembangkan lebih lanjut sampai pada penghapusan hukuman mati dalam sistem pemidanaan di Indonesia,” ujar Anam.
Desakan untuk melakukan moratorium hukuman mati ini memang telah lama muncul. Pada 2017 lalu, dalam pernyataannya kepada kantor berita AFP (Agence France-Presse), Presiden Joko Widodo atau Jokowi membuka kemungkinan moratorium hukuman mati. Jokowi menyampaikan bahwa dirinya akan memoratorium hukuman mati dengan satu syarat. Adapun syarat yang diajukan Presiden Joko Widodo adalah apabila publik menghendaki ia untuk melakukan hal tersebut.
Baca: Hari Anti Hukuman Mati 2018, Komnas HAM: RKUHP Beri Harapan
Merespons pernyataan tersebut saat itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonnan Laoly mengatakan bahwa dirinya belum bisa memastikan apakah hukuman mati akan dimoratorium atau tidak. Adapun yang ia janjikan saat itu adalah pemerintah mengupayakan hukuman mati untuk menjadi hukuman alternatif saja sebagai jalan tengah pada rencana RUU KUHP. Sederhananya, seseorang yang divonis hukuman mati masih bisa diubah hukumannya berdasarkan ukuran-ukuran tertentu.
Misalnya, kata Yasonna, terpidana menjalani dulu hukuman 10 tahun sebelum diputuskan apakah akan tetap dihukum mati atau tidak. Hal itu berbeda dengan situasi sekarang di mana hukuman mati adalah hukuman pokok sehingga tidak bisa diubah. "Setelah 10 tahun, misalnya, dia berkelakukan baik, ada pertobatan, itu bisa diubah hukuman matinya. Nanti akan kami buat aturannya. Dibuka ruang itu," ujar Yasonna.
Hal tersebut yang kemudian tertuang dalam pasal 111 Draft RKUHP Juli 2018. Yasonna mengklaim opsi hukuman mati sebagai hukuman alternatif itu mendapat banyak dukungan, bahkan dari Presiden Joko Widodo sekalipun. Dia optimistis hal itu akan disetujui dalam proses di Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun sampai saat ini, RKUHP belum juga disahkan. Semula, Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, RKUHP akan disahkan pada 17 Agustus 2018, namun sampai saat ini tak kunjung jua terjadi.