TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, mengatakan Pertamina mampu menembus daftar 'Fortune 500' dalam masa kepemimpinannya. Hal ini dikatakan Karen pada awak media saat ia digelandang petugas Kejagung untuk dibawa ke rutan Pondok Bambu di kantor Kejagung, Jakarta, Senin 24 September 2018.
Baca juga: Alasan Kejaksaan Agung Menahan Eks Bos Pertamina Karen Agustiawan
"Selama menjadi Dirut Pertamina, saya telah menjalankan semua dengan sebaik-baiknya sehingga Pertamina bisa masuk Fortune 500 dan meningkatkan laba dua kali lipat," ujar Karen sambil terisak.
Fortune 500 adalah sebuah daftar tahunan yang disusun oleh majalah Fortune. Daftar ini memuat 500 perusahaan swasta dan milik pemerintah dengan pendapatan bruto teratas di dunia. Untuk pertama kalinya, Pertamina pada 2013 - saat Karen menjabat Direktur Utama - menempati nomor urut 122 dalam daftar tersebut dengan pendapatan total mencapai 70,9 Milyar USD.
Saat ini, Karen Agustiawan ditahan Kejaksaan Agung setelah menjadi tersangka kasus dugaan korupsi investasi yang terjadi pada 2009. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Adi Toegarisman mengatakan pihaknya menahan Karen selama 20 hari ke depan.
"Jadi, hari ini tersangka Karen dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan di rutan Pondok Bambu," kata Adi di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin 24 September 2018.
Adi mengatakan tindakan penahanan ini memiliki maksud dan tujuan yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. "Dan yang terpenting memang dalam rangka untuk menyegerakan penyelesaian perkara ini," ujarnya.
Baca juga: Kasus Karen Agustiawan, Kejaksaan Agung Cari Bukti ke Australia
Terkait dengan kasus Karen Agustiawan, sebelumnya Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi (PHE), melakukan akuisisi saham sebesar 10 persen terhadap ROC Oil Ltd, untuk menggarap Blok BMG.
Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase -BMG Project diteken pada 27 Mei 2009. Nilai transaksinya mencapai US$31 juta. Akibat akuisisi itu, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$ 26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp 568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari.
Ternyata Blok BMG hanya menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah. Alasannya, blok ini tidak ekonomis jika diteruskan produksi. Investasi yang sudah dilakukan Pertamina akhirnya tidak memberikan manfaat maupun keuntungan dalam menambah cadangan dan produksi minyak nasional.
Hasil penyidikan Kejaksaan Agung menemukan dugaan penyimpangan dalam proses pengusulan investasi di Blok BMG. Pengambilan keputusan investasi tanpa didukung feasibility study atau kajian kelayakan hingga tahap final due dilligence atau kajian lengkap mutakhir.
Baca juga: Ditahan Kejaksaan Agung, Karen Agustiawan Menangis
Diduga direksi mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris. Akibatnya, muncul kerugian keuangan negara cq Pertamina sebesar US$ 31 juta dan US$ 26 juta atau setara Rp 568 miliar.