TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai, Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto harus cermat memilih wakil jika ingin menang di pemilihan presiden 2019. Menurut Sebastian, tokoh dari partai maupun tokoh non-partai sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan.
“Jadi perlu lihai membaca, kalau mengambil tokoh dari partai, maka pilihlah partai yang memiliki suara terbesar,” ujar Sebastian saat dihubungi Tempo pada Jumat, 13 Juni 2018.
Baca juga: Zulkifli Hasan Sebut Mahfud MD Layak Jadi Cawapres Jokowi
Adapun beberapa nama bakal cawapres yang menguat dari tokoh partai pendukung Jokowi yakni, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy. Adapula nama Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, kendati belum resmi menyatakan mendukung.
Untuk kategori tokoh partai, ujar Sebastian, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto adalah pilihan yang paling rasional untuk dipilih Jokowi. Alasannya, ujar dia, Golkar adalah partai pemenang kedua, dengan jumlah kursi yang cukup dominan di parlemen, serta memiliki mesin politik yang kuat. “Ini bisa menjadi modal untuk menarik suara pemilih dan juga mengonsolidasikan kekuatan pemerintah di parlemen,” ujar dia.
Sementara dari kubu penantang Prabowo Subianto, ada dua nama kader Partai Keadilan Sejahtera yang menguat, yakni Ahmad Heryawan dan Salim Segaf Al-Jufri. Adapula nama Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, yang belum kunjung resmi menyatakan mendukung Prabowo.
Baca juga: Cawapres Prabowo: Mulai Aher, Salim Segaf, Zulhas, Hingga Anies
Menurut Sebastian, jika Gerindra ingin mengusung Prabowo, maka tokoh partai yang diusung haruslah dari kader PKS, sebab baru partai besutan Sohibul Iman itu yang tegas menyatakan akan bersama-sama dengan Gerindra di Pilpres 2019. “Pilihan Gerindra tidak banyak, jika tidak ingin PKS lari, maka harus memilih PKS,” ujar Sebastian.
Namun, lanjut dia, memilih tokoh partai juga memiliki potensi memecah koalisi. “Bisa jadi partai yang sudah bergabung lari, yang mau bergabung tidak jadi, karena tidak dipilih menjadi wakil. Semua partai pasti ingin menyodorkan kadernya,” ujar dia.
Jika perundingan di koalisi sudah deadlock, ujar dia, tokoh di luar partai bisa menjadi pilihan paling memungkinkan, tapi lagi-lagi kapasitas dan elektabilitas harus menjadi pertimbangan utama. “Tokoh tersebut harus bisa diterima partai dengan kapasitas dan elektabilitas yang mampu mendulang suara untuk pasangannya,” ujar Sebastian.
Untuk tokoh non-partai dari kubu Jokowi, ujar dia, nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD patut dipertimbangkan, Sebab, secara kapasitas, cukup mumpuni untuk memimpin. Sementara untuk kubu Prabowo, ada nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang juga berpeluang. Namun untuk Anies, ujar Sebastian, berpotensi mendulang namun secara kapasitas dianggap orang yang baru memimpin Jakarta dan belum kentara kinerjanya.