TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Kajian Ideologi dan Kebijakan Publik Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Happy Bone Zulkarnain menyebut, kekalahan pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi di Pilkada Jawa Barat adalah kehilangan yang sangat mahal harganya bagi Partai Golkar.
"Terus terang, kehilangan Jawa barat itu kehilangan yang sangat mahal harganya bagi kami," ujar Happy Bone kepada Tempo di kantor DPP Partai Golkar, Kemanggisan, Jakarta Barat pada Senin, 2 Juli 2018.
Baca juga: Kalah di Pilkada Jawa Barat, Dedi Mulyadi: Golkar Harus Belajar
Sebab, ujar Happy, Jawa Barat adalah barometer nasional dengan jumlah pemilih terbesar sebanyak 31,7 juta pemilih. "Biasanya siapapun yang menang di sana itu, menang juga di nasional," ujar Happy.
Untuk itu, lanjut dia, ke depan, Golkar harus mengambil langkah strategis dan tepat untuk meyakinkan konstituen. "Harus disiapkan banyak ujung tombak yang bisa menjadi duta-duta meyakinkan konstituen di sana," ujar dia.
Menurut Happy, yang terjadi di Pilkada Jawa Barat adalah pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu berhasil merebut swing voters yang bimbang menentukan pilihan, kemudian terpengaruh akan isu #2019GantiPresiden yang digaungkan pasangan tersebut. "Karena perpindahan yang terjadi sangat masif. Hasil survei dua minggu menjelang pemilu selisih Ridwan Kamil-Uu dan Duo DM hanya 1-2 persen. Kemudian di hari-H suara kami tergerus karena pasangan nomor 3," ujar Happy.
Adapun alon wakil gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyebut kekalahan dirinya dan Deddy Mizwar di Pilkada Jawa Barat harus menjadi pembelajaran penting bagi Partai Golkar. Sebab, menurut Dedi, suara pemilihnya tergerus karena isu pasangan hastag #2019GantiPresiden yang digaungkan pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu.
Baca juga: Soal Pilkada Makassar, Golkar Pertanyakan Komentar Gerindra
"Partai Golkar harus segera mengambil langkah dan isu strategis menuju Pileg dan Pilpres 2019," ujar Dedi Mulyadi saat ditemui di lokasi yang sama.
Dedi mengatakan, dirinya tidak pernah menyangka pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu, yang elektabilitasnya di bawah 10 persen dua minggu menjelang Pilkada, bisa mencapai hampir 30 persen menurut hasil quick count. "Sepanjang perjalanan politik, baru kali ini saya mengalami hal ini," ujar dia. "Seminggu sebelum Pilkada kami sudah memahami elektabilitas, baru kali ini berubah drastis".