TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK meyakini potensi terjadinya kriminalisasi atas sejumlah pasal kontroversial dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih kecil. Menurut dia, kriminalisasi hanya identik dengan sistem pemerintahan yang otoriter.
JK berpendapat potensi kriminalisasi dinilai tak mudah terjadi di negara demokratis. "Kalau pemerintahannya demokratis seperti kita, kriminalisasi itu susah karena belum ada apa-apa Anda sudah berteriak di mana-mana," ujarnya di kantornya, Jakarta, Rabu, 30 Mei 2018.
Baca: RKUHP Akan Disahkan 17 Agustus, Pasal-pasal Ini Belum Tuntas
JK mengatakan Indonesia pun telah berubah. Dulu, kata dia, orang bisa dengan mudah dimasukkan ke penjara. "Sekarang mana? Tidak ada," katanya. Pernyataan JK ini menanggapi sejumlah pasal kontroversial dalam pembahasan RKUHP, seperti pasal perzinahan, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), hingga penghinaan terhadap presiden.
JK menilai peran penegak hukum, seperti hakim dan jaksa, menjadi kunci untuk mencegah kriminalisasi. Sebab, kata dia, mereka menentukan batasan tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan yang patut dihukum.
Pembahasan RKUHP saat ini masih berlangsung. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menargetkan RKUHP bisa disahkan sebelum 17 Agustus 2018. Sebelumnya, anggota Panitia Kerja RKUHP, Arsul Sani, menyatakan rancangan beleid sudah selesai dibahas Panja dan tim perumus.
Baca: Menolak RKUHP Rasa Kolonial
Namun, menurut politikus Partai Persatuan Pembangunan ini, terdapat beberapa item yang rumusan pasalnya belum disepakati, baik di Panja maupun tim perumus. Salah satunya terkait dengan perluasan asas legalitas, posisi hukuman mati, pasal penghinaan presiden, pasal kumpul kebo, dan perbuatan cabul sesama jenis, yang dikenal sebagai pasal LGBT.
JK pun optimistis DPR mampu menyelesaikan pembahasan RKUHP sebelum Agustus. Dia mengatakan masih banyak waktu untuk menyelesaikannya. "Saya yakin DPR bisa tiga bulan untuk menyelesaikan itu," ucapnya.