TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak eksepsi tim penasihat hukum Mantan Kepala Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang mengatakan perkara kliennya tidak dapat diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Terhadap materi keberatan tersebut, kami tidak sependapat,” kata Jaksa KPK, Haerudin saat membacakan tanggapan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin 28 Mei 2018.
Baca: Pengacara Sebut Pengadilan Tipikor Tak Berwenang Adili Kasus BLBI
Sebelumnya, jaksa KPK mendakwa Syafruddin merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Jaksa mendakwa Syafruddin memperkaya pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim melalui penerbitan SKL untuk bank tersebut.
Tim pengacara Syafruddin dalam eksepsinya pekan lalu mengatakan Pengadilan Tipikor tidak berwenang mengadili kliennya. Alasannya, menurut tim pengacara, penerbitan SKL yang dilakukan Syafruddin merupakan objek sengketa Tata Usaha Negara (TUN). Saat itu tim pengacara mengatakan SKL tersebut diberikan Syafruddin saat menjabat sebagai pejabat TUN. Karena itu, kata dia, seharusnya diuji pada Pengadilan TUN (PTUN).
Jaksa mengatakan, yang menjadi objek sengketa pada PTUN adalah surat keputusan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN. Sedangkan, menurut Jaksa, dakwaan yang mereka buat sama sekali tidak mengacu pada surat keputusan TUN, melainkan pada tindak pidana korupsi yang dilakukan Syafruddin. “Akan kami buktikan di persidangan,” kata jaksa.
Baca: Kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung Persoalkan Audit BPK
Dalam eksepsi tersebut, jaksa mengatakan tim penasihat hukum telah keliru memahami surat dakwaan dan hanya membacanya sebagian. Jaksa mengatakan tim pengacara menganggap penerbitan SKL merupakan perbuatan yang berdiri sendiri.
Padahal, jaksa mengatakan, Syafruddin melakukan serangkaian perbuatan dari 2003-2004 dalam menerbitkan SKL. Tujuannya, menghapus piutang BDNI sehingga seolah-olah seluruh kewajiban Sjamsul Nursalim terpenuhi.
Jaksa mengatakan, dari hasil law due dilligence (LDD) dan financial due dilligence (FDD) menunjukkan bahwa piutang petambak dalam kondisi macet dan Sjamsul telah melakukan misinterpretasi. Namun, pada 2003, menurut jaksa, Syafruddin menganggap Sjamsul tidak melakukan misinterpretasi.
Selain itu, jaksa menganggap Syafruddin mengusulkan penghapusan buku utang petambak pada 2004 kepada Presiden saat itu yakni Megawati Soekarnoputri. Namun, jaksa menganggap Syafruddin tidak melaporkan aset berupa utang petambak yang diserahkan Sjamsul.
Selanjutnya, jaksa menjelaskan, Syafruddin sebagai Ketua BPPN pada 12 Februari 2004 juga mengusulkan agar Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) menghapus porsi utang tidak berkelanjutan petambak plasma kurang lebih Rp 2,8 triliun.
Pada 13 Februari 2004, menurut penjelasan jaksa, Ketua KKSK Dorojatun Kuntjorojakti menyetujui usulan Syafruddin sehingga piutang BDNI kepada petambak diperlakukan seperti aset kredit. Selain itu, penagihan utang kepada Sjamsul Nursalim menjadi tidak berlaku.
Hingga 26 April 2004, Syafruddin selaku Ketua BPPN menandatangani surat No. SKL-22/PKSP-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul. Syafruddin menganggap Sjamsul telah memenuhi seluruh kewajiban utangnya.
Seusai persidangan, penasihat hukum Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra menanggapi santai penolakan jaksa terhadap eksepsi yang mereka ajukan. Ia berkukuh perkara kliennya merupakan perdata yang seharusnya diuji terlebih dahulu di PTUN.
Majelis Hakim mengatakan keputusan terhadap eksepsi Syafruddin Arsyad Temenggung akan dibacakan pada Kamis 31 Mei 2018. Yusril menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada majelis hakim. “Memang dalam perkara Tipikor ini jarang ada eksepsi yang diterima oleh pengadilan,” kata Yusril.